BuletinNews.com – Asas yurisdiksi dalam hukum pidana menjadi dasar penting bagi suatu negara untuk menegakkan hukum terhadap perbuatan pidana, termasuk yang dilakukan di luar wilayah teritorialnya. Artikel ini mengkaji penerapan asas nasional aktif dan nasional pasif dalam konteks hukum pidana Indonesia, dengan menelaah studi kasus Kagura, warga negara Jepang yang memalsukan uang rupiah di Filipina, dan Badang, warga negara Indonesia yang secara tidak sengaja mengedarkan uang palsu tersebut di Indonesia. Kajian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan doktrin hukum. Hasil kajian menunjukkan bahwa Indonesia memiliki dasar hukum untuk menuntut Kagura berdasarkan asas nasional pasif, sedangkan Badang tidak dapat dipidana jika tidak terbukti adanya unsur kesengajaan (dolus). Hal ini menunjukkan pentingnya prinsip nullum crimen sine culpa dalam sistem hukum pidana nasional.
1. Pendahuluan Globalisasi telah memudahkan pergerakan orang dan modal lintas negara, namun juga membuka peluang tindak pidana transnasional. Hal ini menuntut sistem hukum pidana nasional untuk mampu menjangkau perbuatan pidana yang terjadi di luar wilayahnya namun berdampak pada kepentingan nasional. Salah satu instrumen hukum yang digunakan adalah asas yurisdiksi, terutama asas nasional aktif dan pasif sebagaimana diatur dalam Pasal 2 sampai Pasal 10 KUHP.
Kasus Kagura dan Badang menjadi relevan dalam pembahasan asas ini. Kagura, WNA asal Jepang, memalsukan uang rupiah di Filipina dan memberikannya kepada Badang, WNI yang tidak menyadari uang tersebut palsu. Uang itu kemudian digunakan di Indonesia, menimbulkan pertanyaan hukum tentang siapa yang dapat dimintai pertanggungjawaban pidana.
2. Landasan Teori dan Kerangka Konseptual
2.1. Asas Nasional Aktif
Asas nasional aktif mengatur bahwa WNI yang melakukan tindak pidana di luar negeri tetap dapat dijerat hukum Indonesia (Pasal 5 ayat (1) KUHP). Asas ini berpijak pada prinsip personalitas atau personaliteitsbeginsel (Moeljatno, 1982; Andi Hamzah, 2005).
2.2. Asas Nasional Pasif
Asas nasional pasif memberikan kewenangan kepada negara untuk menuntut pelaku kejahatan yang dilakukan di luar negeri oleh siapa pun, jika perbuatannya merugikan WNI atau kepentingan hukum nasional. Prinsip ini dikenal juga sebagai asas perlindungan (Sudarto, 1986; Van Bemmelen, 1947).
2.3. Asas Legalitas dan Asas Kesalahan
Dalam penentuan pertanggungjawaban pidana, dua asas fundamental adalah asas legalitas (nullum crimen sine lege) dan asas kesalahan (geen straf zonder schuld) yang menuntut adanya unsur mens rea dalam setiap perbuatan pidana (Simons, 1964; Sudarto, 1986).
3. Analisis Kasus Kagura dan Badang
3.1. Kagura dan Asas Nasional Pasif
Kagura melakukan pemalsuan uang rupiah di luar negeri (Filipina) yang kemudian diedarkan kepada WNI (Badang). Berdasarkan Pasal 4 KUHP, Indonesia dapat menuntut Kagura karena: Korban adalah WNI, Perbuatannya merugikan sistem keuangan Indonesia. Melanggar Pasal 244 KUHP dan UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Pemalsuan uang merupakan tindak pidana yang mengganggu stabilitas ekonomi dan kepercayaan publik terhadap mata uang nasional, sehingga termasuk kepentingan hukum yang dilindungi melalui asas nasional pasif (Muladi, 1996).
3.2. Badang dan Asas Kesalahan
Badang merupakan WNI yang menerima dan menggunakan uang palsu tanpa mengetahui keasliannya. Berdasarkan Pasal 36 ayat (3) UU No. 7 Tahun 2011, unsur kesengajaan menjadi syarat untuk dapat dipidana.
Jika tidak terdapat unsur dolus (niat jahat), maka Badang tidak dapat dipidana. Prinsip ini sejalan dengan asas geen straf zonder schuld (Simons, 1964), yang menyatakan bahwa kesalahan adalah syarat mutlak pertanggungjawaban pidana.
4. Kesimpulan
Asas nasional aktif berlaku terhadap WNI yang melakukan tindak pidana di luar negeri, sementara asas nasional pasif memberikan kewenangan kepada Indonesia untuk menuntut WNA jika kepentingan nasional dirugikan.
Dalam kasus ini, Kagura dapat dituntut berdasarkan asas nasional pasif, meskipun kejahatan dilakukan di luar negeri. Badang tidak dapat dipidana jika tidak terbukti memiliki unsur kesengajaan, sesuai asas kesalahan dalam hukum pidana.
Daftar Pustaka
– Andi Hamzah. (2005). Pengantar Hukum Pidana Indonesia. Jakarta: Ghalia Indonesia.
– KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana).
– Moeljatno. (1982). Asas-asas Hukum Pidana. Jakarta: Bina Aksara.
– Muladi. (1996). Kapita Selekta Sistem Peradilan Pidana. Semarang: Badan Penerbit UNDIP.
– Simons. (1964). Leerboek van het Nederlandse Strafrecht. Arnhem: Gouda Quint.
– Sudarto. (1986). Hukum dan Hukum Pidana. Bandung: Alumni.
– UU No. 7 Tahun 2011 tentang Mata Uang.
Van Bemmelen, J.M. (1947). Het Nederlands Strafrecht. Haarlem: De Erven Bohn.
Komentar