BuletinNews.com – Dalam dinamika politik global, isu pengakuan terhadap entitas baru yang mendeklarasikan kemerdekaan kembali menjadi sorotan utama. Hukum internasional memandang pengakuan negara sebagai instrumen penting dalam menentukan keabsahan dan kedudukan suatu entitas politik baru, khususnya dalam konteks perpecahan wilayah atau kemerdekaan sepihak.
Dalam kajian hukum internasional sebagaimana dijelaskan oleh Sri Setianingsih Wahyuningsih (2022), terdapat dua pendekatan utama dalam memahami pengakuan negara: teori konstitutif dan teori deklaratif. Teori konstitutif menekankan bahwa keberadaan suatu negara baru hanya sah apabila mendapat pengakuan dari negara lain. Sementara itu, teori deklaratif menyatakan bahwa eksistensi suatu negara cukup ditentukan oleh terpenuhinya unsur-unsur seperti wilayah tetap, penduduk tetap, dan pemerintahan yang efektif, tanpa harus menunggu pengakuan dari negara lain.
Indonesia sendiri menganut teori deklaratif, yang menegaskan bahwa pengakuan tidak menjadi penentu eksistensi suatu negara, melainkan hanya memperkuat kedudukannya di mata internasional. Oleh karena itu, jika suatu wilayah telah memenuhi unsur-unsur kenegaraan tersebut, maka entitas itu dapat dikatakan sah secara hukum internasional, meskipun belum diakui secara universal.
Persoalan menjadi kompleks ketika negara asal, seperti dalam kasus Negara B yang menolak mengakui kemerdekaan Negara A, tetap mengklaim wilayah tersebut sebagai bagian integral dari teritorialnya. Di sinilah benturan antara prinsip kedaulatan teritorial dan hak penentuan nasib sendiri (self-determination) muncul. Menurut Fatmawati Chaerudin (2024), Piagam PBB telah menjamin hak bagi suatu kelompok untuk menentukan nasib politiknya sendiri, terutama bila terjadi pelanggaran HAM atau penindasan sistematis.
Sengketa semacam ini umumnya diselesaikan melalui mekanisme hukum internasional, baik melalui Mahkamah Internasional (ICJ), mediasi oleh PBB, maupun perundingan bilateral antarnegara. Proses ini menekankan prinsip non-intervensi, namun juga mempertimbangkan legitimasi politik dan keinginan rakyat lokal.
Salah satu preseden penting adalah kasus kemerdekaan Kosovo dari Serbia pada 2008. Meskipun Serbia menolak pengakuan, Mahkamah Internasional dalam Advisory Opinion tahun 2010 menyatakan bahwa deklarasi kemerdekaan Kosovo tidak melanggar hukum internasional. Kasus ini menunjukkan bahwa hukum internasional tidak secara mutlak menolak pemisahan diri, asalkan dilakukan tanpa melanggar norma-norma fundamental.
Mengacu pada pendapat Aminoto dalam BMP HKUM4209, dukungan internasional dan pemenuhan unsur-unsur kenegaraan menjadi faktor penting dalam membangun legitimasi entitas baru. Dalam dunia yang terus berkembang secara geopolitik, pengakuan negara bukan hanya persoalan hukum, tetapi juga merupakan refleksi dari dinamika politik dan diplomatik global.
Penulis: Andi Hendra
Komentar