BuletinNews.com – Hukum pidana Indonesia tidak hanya memproses tindak pidana yang telah sempurna diwujudkan, tetapi juga mengakui kemungkinan pemidanaan terhadap tindak pidana yang belum selesai, yang dikenal sebagai percobaan (poging). Di samping itu, terdapat pula mekanisme penggabungan tindak pidana (concursus realis) dalam kasus pelanggaran berulang seperti pemalsuan dan pengedaran uang palsu. Tulisan ini membahas secara yuridis normatif bentuk percobaan kejahatan menurut Pasal 53 KUHP dan penerapan Pasal 244 dan 245 KUHP dalam konteks perbarengan tindak pidana, melalui studi kasus fiktif atas pelaku bernama Balmon.
Dalam sistem hukum pidana Indonesia, pemidanaan mensyaratkan terpenuhinya semua unsur delik. Namun, KUHP juga memberikan ruang bagi penjatuhan pidana terhadap perbuatan yang belum sempurna, selama telah memenuhi unsur percobaan sebagaimana diatur dalam Pasal 53. Di sisi lain, dalam kasus pemalsuan uang, ketentuan Pasal 244 dan 245 KUHP menunjukkan bahwa kejahatan terhadap sistem keuangan dapat dijerat secara kumulatif apabila dilakukan berulang kali. Fenomena ini menunjukkan pentingnya pendekatan preventif dan represif secara simultan dalam penegakan hukum pidana.
Percobaan Kejahatan dalam KUHP
Menurut Pasal 53 ayat (1) KUHP, percobaan melakukan kejahatan dapat dipidana apabila:
- Ada niat untuk melakukan kejahatan;
- Telah memulai pelaksanaan niat tersebut;
- Pelaksanaan tidak selesai bukan karena kehendaknya sendiri.
Dengan kata lain, percobaan bukan hanya sekadar niat jahat (mens rea), tetapi telah terdapat tindakan awal (actus reus) yang menunjukkan upaya untuk merealisasikan kejahatan tersebut. Namun, kegagalan dalam menyelesaikan perbuatan itu disebabkan oleh faktor eksternal.
Contoh klasik dari percobaan adalah upaya pencurian yang digagalkan sebelum barang berhasil diambil. Pemidanaan terhadap bentuk ini dimaksudkan untuk mencegah kerugian yang lebih besar, membuktikan niat jahat secara objektif, serta memberikan perlindungan hukum lebih dini terhadap masyarakat.
Namun, KUHP secara eksplisit membatasi ruang lingkup percobaan hanya pada tindak pidana kategori kejahatan, bukan pelanggaran. Ini mencerminkan prinsip kehati-hatian agar tidak terjadi kriminalisasi atas niat semata tanpa tindakan konkret.
Studi Kasus: Pemalsuan dan Pengedaran Uang oleh Balmon
Dalam kasus yang dikonstruksikan, Balmon telah:
- Mendesain dan mencetak uang rupiah palsu;
- Menggunakannya untuk transaksi nyata pada dua kesempatan berbeda.
Tindakannya memenuhi unsur pasal-pasal berikut:
Pasal 244 KUHP: Meniru atau memalsukan uang dengan maksud mengedarkan.
Pasal 245 KUHP: Mengedarkan atau menggunakan uang palsu dalam peredaran umum.
Perbuatannya juga mencerminkan perbarengan konkrit (concursus realis) sesuai Pasal 65 ayat (1) KUHP, karena:
- Dilakukan pada waktu yang berbeda;
- Memiliki maksud dan tindakan terpisah;
Menunjukkan pola pelanggaran berulang.
Berdasarkan ketentuan KUHP, ancaman maksimal untuk setiap delik adalah 15 tahun penjara. Namun karena dilakukan dalam bentuk perbarengan nyata, maka sanksi maksimum ditambah sepertiga:
15 tahun + 1/3 (5 tahun) = 20 tahun penjara.
Pemidanaan terhadap percobaan kejahatan maupun pemalsuan uang dalam bentuk perbarengan menunjukkan pentingnya pendekatan yang tidak semata-mata reaktif, melainkan juga preventif. Percobaan kejahatan dipidana untuk mencegah efek yang lebih besar, sedangkan perbarengan dikenakan pidana berat untuk mencerminkan keseriusan pelanggaran yang bersifat kumulatif.
Pembatasan pemidanaan percobaan menjadi penting demi menjamin prinsip legalitas (nullum crimen sine lege), serta menghindari kriminalisasi berlebihan. Namun dalam kasus seperti pemalsuan uang, pendekatan represif sangat diperlukan untuk menjaga kepercayaan publik terhadap sistem keuangan negara.
Dalam hukum pidana Indonesia, percobaan kejahatan dapat dipidana apabila telah terdapat tindakan awal yang gagal diselesaikan karena intervensi eksternal. Hal ini memberi dasar hukum bagi upaya preventif. Di sisi lain, pemalsuan dan pengedaran uang termasuk dalam delik berat yang dapat dikenakan secara kumulatif apabila dilakukan dalam bentuk perbarengan tindak pidana. Kasus seperti Balmon memperlihatkan bahwa sistem hukum Indonesia telah menyediakan perangkat normatif untuk menjawab tantangan kejahatan modern, namun tetap perlu dijalankan dengan kehati-hatian berdasarkan prinsip proporsionalitas dan keadilan substantif.
Daftar Pustaka
- Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP).Hiarej, Eddy O.S. (2021). Hukum Pidana. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
- Muladi & Barda Nawawi Arief. (1992). Teori-Teori dan Kebijakan Pidana. Bandung: Alumni.
- Setiawan, Ibnu. (2020). “Kejahatan Pemalsuan dalam Hukum Pidana Indonesia,” Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 50 No. 1.
Komentar