BuletinNews.com – Perkawinan adalah institusi hukum yang memiliki nilai religius dan sosial yang tinggi dalam kehidupan masyarakat Indonesia. Namun, dinamika sosial seperti perbedaan agama sering kali menimbulkan permasalahan hukum, terutama ketika perkawinan lintas agama berakhir pada perceraian. Dalam konteks hukum acara perdata, penentuan kompetensi pengadilan (baik absolut maupun relatif) menjadi aspek penting untuk memastikan gugatan perceraian diajukan ke lembaga peradilan yang tepat.
Tulisan ini mengulas kasus hipotetik Risa dan Albert, yang menghadapi permasalahan hukum setelah pernikahan beda agama mereka berujung pada perceraian. Analisis ini akan menguraikan secara sistematis dasar hukum dan prinsip penentuan kompetensi pengadilan.
Risa (beragama Islam) dan Albert (semula beragama Kristen) berniat menikah, namun karena perbedaan agama, mereka tidak dapat melangsungkan pernikahan. Albert kemudian memutuskan untuk memeluk Islam, sehingga pernikahan mereka sah secara Islam dan dicatat di KUA Jakarta Selatan. Setelah menikah, mereka pindah ke Bandung. Lima tahun kemudian, rumah tangga mereka bermasalah dan Albert kembali memeluk Kristen. Mereka kemudian sepakat untuk bercerai.
1. Kompetensi Absolut (Absolute Competence)
Kompetensi absolut berkaitan dengan jenis peradilan yang berwenang memeriksa suatu perkara berdasarkan sifat dan objek hukumnya.
Menurut Pasal 49 huruf (a) Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama, Pengadilan Agama berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan perkara di tingkat pertama antara orang-orang yang beragama Islam di bidang perkawinan, waris, wasiat, hibah, wakaf, zakat, infaq, shadaqah, dan ekonomi syariah.
Karena pernikahan Risa dan Albert dilakukan menurut hukum Islam dan dicatat di KUA Jakarta Selatan, maka secara hukum perkawinan tersebut termasuk dalam yurisdiksi Pengadilan Agama. Meskipun Albert kemudian kembali memeluk Kristen, status perkawinan yang tercatat secara Islam tetap mengikat dalam yurisdiksi Pengadilan Agama, karena yang menjadi acuan adalah status agama pada saat akad nikah dilakukan.
Dasar Hukum:
– Pasal 49 huruf (a) UU No. 3 Tahun 2006
– Pasal 63 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989
– Pasal 1 & 2 UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan
Dengan demikian, kompetensi absolut gugatan perceraian Risa dan Albert berada pada Pengadilan Agama.
2. Kompetensi Relatif (Relative Competence)
Kompetensi relatif menentukan pengadilan mana (secara wilayah) yang berwenang memeriksa perkara.
Dalam Hukum Acara Perdata, hal ini diatur dalam Pasal 118 ayat (1) HIR yang berbunyi: “Gugatan perdata harus diajukan kepada Pengadilan Negeri di tempat tinggal tergugat.”
Meskipun ketentuan tersebut secara tekstual ditujukan untuk Pengadilan Negeri, asas actor sequitur forum rei (penggugat mengikuti domisili tergugat) juga digunakan secara analog dalam lingkungan Peradilan Agama, sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006, yang menyebutkan bahwa gugatan perceraian diajukan kepada Pengadilan Agama yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman penggugat.
Karena setelah menikah Risa dan Albert berdomisili di Bandung, maka baik dari sisi hukum maupun praktik peradilan, Pengadilan Agama Bandung adalah pengadilan yang berwenang secara relatif untuk memeriksa dan memutus gugatan perceraian mereka.
Dasar Hukum:
– Pasal 73 ayat (1) UU No. 7 Tahun 1989 jo. UU No. 3 Tahun 2006
– Pasal 118 ayat (1) HIR
– Prinsip actor sequitur forum rei
Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan:
- Kompetensi absolut atas gugatan perceraian antara Risa dan Albert berada pada Pengadilan Agama, karena perkawinan mereka dilaksanakan secara Islam.
- Kompetensi relatif berada pada Pengadilan Agama Bandung, karena tempat tinggal terakhir mereka bersama berada di wilayah Bandung.
Meskipun Albert kembali memeluk agama Kristen, hal tersebut tidak mengubah yurisdiksi peradilan, karena status perkawinan Islam tetap sah dan hanya dapat dibubarkan melalui Pengadilan Agama.
Daftar Pustaka
– Benny Riyanto, H.R. (2024). Hukum Acara Perdata (HKUM4405). Universitas Terbuka.
– Agustina, R., dkk. (2022). Hukum Perdata. Universitas Terbuka.
– Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
– Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
– Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tentang Perubahan atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
– Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas UU No. 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama.
– HIR (Herziene Indonesisch Reglement), Pasal 118.
– Jurnal Hukum Islam dan Sosial, “Analisis Kompetensi Pengadilan dalam Sengketa Perkawinan Lintas Agama”, 2023.
Karya: A. Hendra
Komentar