HAM, Hukum, dan Ketidakadilan Substantif dalam Kasus Novel

BuletinNews.com – Kasus penyiraman air keras terhadap penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Novel Baswedan, bukan hanya menjadi persoalan kriminal semata, tetapi juga merupakan indikator serius terhadap lemahnya komitmen negara dalam menegakkan Hak Asasi Manusia (HAM). Berdasarkan Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM, setiap individu berhak mendapatkan perlindungan atas hidup, rasa aman, integritas pribadi, serta kehormatan dan martabat. Dalam konteks ini, peristiwa kekerasan yang dialami Novel merupakan pelanggaran nyata atas hak-hak tersebut.

Analisis Yuridis

Secara hukum positif, tindakan penyiraman air keras dapat dikategorikan sebagai pelanggaran HAM. Pasal 9 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 menyatakan bahwa setiap orang berhak untuk hidup, mempertahankan hidup, dan meningkatkan taraf kehidupannya. Selain itu, Pasal 30 menegaskan bahwa setiap orang berhak atas rasa aman dan perlindungan dari ancaman ketakutan. Tindakan penyiraman yang mengakibatkan luka permanen pada mata korban jelas memenuhi unsur pelanggaran terhadap dua hak utama tersebut.

Tak hanya itu, Pasal 28G ayat (1) UUD 1945 menjamin perlindungan atas diri pribadi dan rasa aman dari ancaman. Dalam kasus Novel, ia diserang dalam kapasitasnya sebagai penyidik KPK yang sedang menjalankan tugas negara. Maka, serangan tersebut juga merupakan bentuk intimidasi terhadap lembaga hukum dan pemberantasan korupsi, sekaligus pelanggaran terhadap nilai-nilai konstitusional.

Tinjauan Filosofis dan Etika Hukum

Dalam perspektif filsafat hukum, keadilan tidak boleh dipersempit hanya sebagai penegakan norma formal. Gustav Radbruch mengemukakan bahwa hukum harus tunduk pada nilai keadilan, dan hukum yang bertentangan secara terang-terangan dengan keadilan tidak memiliki legitimasi sebagai hukum. Dalam konteks ini, vonis ringan yang dijatuhkan kepada pelaku (2 tahun dan 1,6 tahun penjara) jelas tidak proporsional dibandingkan penderitaan korban.

Penegakan hukum semestinya mencerminkan keadilan substantif, yang tidak hanya menghukum secara prosedural, tetapi juga memberikan perlindungan menyeluruh kepada korban dan masyarakat. Etika profesi hukum juga menuntut penghormatan tinggi terhadap integritas dan martabat manusia, terutama terhadap aparat penegak hukum.

Refleksi Terhadap Sistem Penegakan Hukum

Vonis ringan terhadap pelaku tidak hanya mencerminkan defisit keadilan, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap sistem hukum. Dalam jurnal Indonesian Journal of Law and Society (2020), dijelaskan bahwa lemahnya penanganan kasus kekerasan terhadap aparat hukum menunjukkan kekosongan etika dalam sistem peradilan. Hal ini menandakan bahwa supremasi hukum belum sepenuhnya dijalankan secara konsisten dan berkeadilan.

Kasus Novel Baswedan adalah pengingat bahwa penegakan HAM tidak boleh hanya bersifat deklaratif. Negara memiliki kewajiban konstitusional dan moral untuk memastikan bahwa setiap warga, terlebih aparat penegak hukum, mendapatkan perlindungan secara utuh dan berkeadilan. Ke depan, reformasi sistem peradilan dan komitmen terhadap keadilan substantif harus menjadi agenda utama, agar tragedi serupa tidak terulang dan supremasi hukum benar-benar ditegakkan.

Referensi

  1. Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
  2. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
  3. Khotibul Umam, dkk. (2022). Filsafat Hukum dan Etika Profesi. Universitas Terbuka.
  4. Simanjuntak, M. (2020). Reformasi Penegakan Hukum dan Tantangan Etika Profesi di Indonesia. Indonesian Journal of Law and Society, 1(2), 223–240.

Oleh: Andi Hendra



IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Komentar