BuletinNews.com – Asas legalitas merupakan prinsip dasar dalam hukum pidana yang menjamin kepastian hukum dan perlindungan terhadap hak asasi manusia. Dalam KUHP yang berlaku saat ini, asas legalitas dipahami secara ketat dan legalistik, sedangkan dalam RUU KUHP terbaru terjadi perluasan makna melalui pengakuan terhadap hukum yang hidup di masyarakat (living law). Tulisan ini membahas perbandingan penerapan asas legalitas dalam KUHP dan RUU KUHP serta implikasi sosiologisnya dalam konteks penegakan hukum di Indonesia.
Kata kunci: asas legalitas, KUHP, RUU KUHP, living law, keadilan substantif
Asas legalitas merupakan fondasi utama dalam sistem hukum pidana modern. Asas ini berfungsi untuk melindungi warga negara dari kekuasaan yang sewenang-wenang dengan menjamin bahwa tidak ada perbuatan yang dapat dikenai sanksi pidana kecuali telah diatur dalam undang-undang yang berlaku sebelumnya (nullum crimen sine lege, nulla poena sine lege). Doktrin ini dikemukakan secara tegas oleh Feuerbach yang merumuskan asas legalitas ke dalam adagium nullum delictum, nulla poena sine praevia lege poenali, yang berarti bahwa tidak ada perbuatan pidana dan tidak ada pidana tanpa ketentuan hukum yang telah ditetapkan sebelumnya.
Dalam perkembangan hukum nasional, asas legalitas mengalami perubahan signifikan melalui pembaruan hukum pidana nasional dalam RUU KUHP. Perubahan ini mencerminkan upaya untuk menyesuaikan sistem hukum pidana dengan kebutuhan masyarakat yang terus berkembang.
Asas Legalitas dalam KUHP Saat Ini
Pasal 1 ayat (1) KUHP menyatakan bahwa:
“Tiada suatu perbuatan dapat dipidana kecuali berdasarkan kekuatan aturan pidana dalam perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”
Ketentuan ini menunjukkan bahwa hukum pidana menganut prinsip non-retroaktif, yaitu larangan pemberlakuan hukum pidana secara surut. Asas ini bertujuan memberikan kepastian hukum bagi warga negara agar mereka mengetahui perbuatan apa yang dilarang dan sanksi apa yang dikenakan. Pandangan ini diperkuat oleh Wirjono Prodjodikoro (2003), yang menyatakan bahwa makna asas legalitas hanya mencakup dua hal: pertama, sanksi pidana hanya dapat ditentukan oleh undang-undang; kedua, ketentuan pidana tidak boleh berlaku surut.
Demikian pula, Enschede menekankan bahwa suatu perbuatan dapat dipidana hanya apabila secara eksplisit telah ditentukan dalam perundang-undangan. Pemahaman ini menunjukkan karakter KUHP lama yang sangat menekankan kepastian hukum formal, tetapi kurang responsif terhadap perubahan sosial dan perkembangan teknologi yang pesat.
Asas Legalitas dalam RUU KUHP
Dalam RUU KUHP terbaru, asas legalitas tetap menjadi prinsip dasar namun dengan pengembangan makna yang lebih luas dan kontekstual. Pasal 2 ayat (1) RUU KUHP menyatakan:
“Tidak seorang pun dapat dipidana atau dikenai tindakan kecuali berdasarkan peraturan perundang-undangan yang telah ada sebelum perbuatan dilakukan.”
Namun, pasal ini diperluas melalui Pasal 2 ayat (2) yang menyatakan:
“Dalam hal tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan, seseorang dapat dipidana jika perbuatan tersebut dianggap sebagai kejahatan oleh hukum yang hidup dalam masyarakat.”
Ketentuan ini memperkenalkan konsep living law sebagai sumber hukum pidana, yakni norma-norma tidak tertulis yang hidup dan dihormati oleh masyarakat. Pengakuan ini membuka peluang bagi pengakuan hukum adat dan nilai lokal yang sebelumnya tidak tercakup dalam hukum tertulis.
Pandangan Ahli dan Implikasi Sosiologis
Menurut Barda Nawawi Arief (1996), asas legalitas yang hanya mengandalkan hukum tertulis (legalitas formil) perlu dilengkapi dengan pendekatan sosiologis agar hukum pidana tidak terlepas dari nilai-nilai sosial yang hidup dalam masyarakat. Pendekatan ini memungkinkan hukum pidana untuk mencerminkan rasa keadilan substantif dan relevansi terhadap realitas sosial yang ada.
Pandangan Nawawi Arief ini sejalan dengan semangat RUU KUHP yang mengakomodasi living law sebagai ekspresi lokal dari nilai keadilan. Meski demikian, pendekatan ini juga mengandung risiko berkurangnya kepastian hukum dan terbukanya ruang subjektivitas dalam penegakan hukum.
Kesimpulan
Asas legalitas dalam KUHP saat ini menekankan aspek kepastian hukum melalui pendekatan yang legalistik dan formil. Sementara itu, dalam RUU KUHP, asas ini mengalami transformasi menuju pendekatan yang lebih progresif dengan pengakuan terhadap hukum yang hidup dalam masyarakat. Perluasan makna ini mencerminkan upaya hukum pidana nasional untuk menyeimbangkan antara kepastian hukum dan keadilan substantif. Namun demikian, implementasi pengakuan terhadap living law perlu diatur secara hati-hati agar tidak mengaburkan prinsip nullum crimen sine lege.
Daftar Pustaka
Arief, B. N. (1996). Bunga Rampai Kebijakan Hukum Pidana. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Hamzah, A. (2008). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Moeljatno. (2002). Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta.
Prodjodikoro, W. (2003). Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Bandung: Refika Aditama.
Universitas Terbuka. (2022). HKUM4203 Hukum Pidana: Modul 4 – Asas Legalitas dan Ruang Lingkup Berlakunya Hukum Pidana. Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Republik Indonesia. (2023). Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP). Diakses dari https://peraturan.go.id
Oleh: Andi Hendra
Komentar