Analisis Status Perkawinan di Bawah Tangan dalam Konteks Hukum Waris di Indonesia

BuletinNews.com – Dalam konteks hukum perdata di Indonesia, khususnya dalam hal pewarisan, status perkawinan dan kedudukan anak sangat memengaruhi hak waris. Untuk menjawab kasus Asep dan Ida yang menikah secara di bawah tangan (tidak dicatatkan secara resmi di Kantor Urusan Agama/KUA), kita harus melihat dari dua perspektif hukum yang relevan, yakni:

Hukum Perdata (BW/Burgerlijk Wetboek)

Dalam BW, yang masih berlaku untuk warga negara Indonesia non-Muslim, status anak diatur secara ketat. Anak sah hanya diakui sebagai anak yang lahir dari perkawinan yang diakui secara sah menurut hukum negara (Pasal 250-283 BW). Anak yang lahir dari hubungan yang tidak diakui sebagai perkawinan resmi hanya dianggap sebagai anak luar kawin.Menurut Pasal 862 BW, anak luar kawin hanya memperoleh sepertiga dari bagian yang didapat anak sah, dan itu pun jika ada pengakuan terhadap anak tersebut oleh ayah atau ibu biologisnya (lihat Pasal 280 BW).

Kompilasi Hukum Islam (KHI)

Karena Asep dan Ida adalah pasangan Muslim, maka hukum Islam yang tertuang dalam Kompilasi Hukum Islam (Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991) berlaku dalam hal ini. Dalam Pasal 7 KHI, disebutkan bahwa:

“Perkawinan hanya dapat dibuktikan dengan Akta Nikah yang dibuat oleh Pegawai Pencatat Nikah.”

Namun, dalam ayat (2) disebutkan bahwa: “Dalam hal perkawinan tidak dapat dibuktikan dengan Akta Nikah, dapat diajukan itsbat nikah ke Pengadilan Agama.”

Artinya, meskipun perkawinan dilakukan di bawah tangan dan belum tercatat secara resmi, perkawinan itu dapat diitsbatkan agar diakui oleh negara. Jika itsbat dikabulkan, maka anak-anak dari perkawinan tersebut akan diakui sebagai anak sah dan berhak mewaris sepenuhnya, sebagaimana diatur dalam Pasal 171 huruf c KHI.

Namun, jika itsbat tidak pernah diajukan dan perkawinan tetap tidak tercatat, maka anak dalam konteks hukum Islam dan negara dapat dianggap sebagai anak luar kawin, yang kedudukan hukumnya dalam hal waris menjadi tidak jelas, dan harus merujuk pada perkembangan hukum terkini, termasuk putusan Mahkamah Konstitusi.

Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010

Putusan ini menyatakan bahwa: “Anak yang dilahirkan di luar perkawinan yang sah tetap memiliki hubungan perdata dengan ibunya dan keluarga ibunya, serta dengan ayahnya apabila dapat dibuktikan secara ilmiah dan/atau alat bukti lain menurut hukum memiliki hubungan darah.”

Dengan putusan ini, jika dapat dibuktikan bahwa si anak adalah anak biologis dari Asep (misalnya melalui tes DNA), maka anak tersebut berhak atas warisan dari ayahnya, meskipun perkawinan orang tuanya tidak tercatat.

Kesimpulannya: Anak hasil dari perkawinan di bawah tangan antara Asep dan Ida berhak mewarisi harta peninggalan orang tuanya asalkan:

Perkawinan orang tuanya diitsbatkan di Pengadilan Agama, sehingga anak menjadi anak sah (berlaku penuh dalam KHI).

Jika itsbat tidak dilakukan, harus dibuktikan adanya hubungan darah (berlaku sesuai Putusan MK No. 46/PUU-VIII/2010) agar anak tetap punya hubungan perdata dan hak waris terhadap ayahnya.

Sumber Referensi:

– Pasal 280, 862 BW (Burgerlijk Wetboek)

 – Instruksi Presiden No. 1 Tahun 1991

– Putusan Mahkamah Konstitusi No. 46/PUU-VIII/2010

UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan jo. UU No. 16 Tahun 2019

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Komentar