BuletinNews.com – Perubahan rezim pemerintahan merupakan fenomena politik yang lazim terjadi di banyak negara. Namun, dalam konteks hukum internasional, perubahan tersebut tidak serta-merta membatalkan kewajiban negara terhadap perjanjian internasional yang telah disepakati sebelumnya. Hukum internasional modern mengakui negara sebagai subjek hukum yang memiliki kepribadian hukum berkelanjutan, sehingga perjanjian yang telah diratifikasi oleh pemerintahan sebelumnya tetap mengikat pemerintahan yang baru. Prinsip dasar yang mendasari hal ini adalah pacta sunt servanda, yaitu bahwa setiap perjanjian harus dilaksanakan dengan itikad baik.
Studi Kasus: Penolakan Perjanjian oleh Negara X
Negara X menjadi sorotan internasional karena secara sepihak menolak seluruh perjanjian internasional yang dibuat oleh pemerintahan sebelumnya. Tindakan ini menuai kritik dari komunitas internasional dan memunculkan pertanyaan mengenai keabsahan tindakan tersebut menurut hukum internasional serta prinsip-prinsip yang dapat digunakan untuk mengevaluasinya.
1. Keabsahan Tindakan Negara X Menurut Hukum Internasional
Tindakan Negara X yang menolak dan tidak mengakui perjanjian internasional yang telah diratifikasi oleh rezim sebelumnya tidak sah dalam hukum internasional. Tindakan ini bertentangan dengan prinsip pacta sunt servanda, sebagaimana ditegaskan dalam:
- Pasal 26 Konvensi Wina tentang Hukum Perjanjian 1969:
“Every treaty in force is binding upon the parties to it and must be performed by them in good faith.”
(Setiap perjanjian yang berlaku mengikat para pihak dan harus dilaksanakan dengan itikad baik.) - Pasal 27 Konvensi Wina 1969:
“A party may not invoke the provisions of its internal law as justification for its failure to perform a treaty.”
(Suatu pihak tidak boleh menggunakan hukum nasionalnya sebagai alasan untuk tidak melaksanakan perjanjian.)
Dengan demikian, perubahan pemerintahan, konstitusi, atau sistem politik tidak dapat dijadikan alasan sah untuk menolak kewajiban perjanjian.
Selain itu, berlaku pula:
- Prinsip kontinuitas negara (continuity of statehood): Perubahan dalam bentuk pemerintahan tidak menghapus status hukum negara atau kewajibannya.
- Preseden hukum internasional: Kasus Tinoco (1923): Mahkamah Arbitrase menyatakan bahwa perjanjian yang dibuat oleh rezim sebelumnya tetap mengikat jika dilakukan dalam kapasitas negara, meskipun rezim tersebut tidak lagi berkuasa.
Dalam buku HKUM4206 Hukum Internasional (Wahyuningsih, 2022), ditegaskan bahwa perjanjian internasional mengikat negara sebagai entitas hukum, bukan hanya pemerintah yang berkuasa saat itu. Oleh karena itu, tindakan sepihak Negara X merupakan pelanggaran terhadap norma hukum internasional dan dapat memicu tanggung jawab internasional serta sanksi.
2. Dasar Hukum Internasional untuk Membantah Kebijakan Negara X
Tindakan Negara X dapat dibantah dengan merujuk pada prinsip dan instrumen hukum internasional berikut:
a. Pacta Sunt Servanda
Merupakan norma jus cogens yang tidak dapat dilanggar tanpa konsekuensi hukum. Prinsip ini menjamin kepastian hukum dalam hubungan internasional.
b. Konsep Negara sebagai Subjek Hukum Internasional
Negara memiliki kepribadian hukum yang bersifat kontinu, sehingga kewajiban internasional tetap melekat meskipun terjadi perubahan rezim (Brownlie, Principles of Public International Law, 2008).
c. Yurisprudensi Internasional
Kasus Tinoco Arbitration (Great Britain v. Costa Rica, 1923) menegaskan bahwa perjanjian tetap sah selama dilakukan dalam kapasitas negara.
d. Sanksi dan Reaksi Internasional
Penolakan sepihak dapat memicu:
- Teguran atau protes diplomatik;
- Retorsi (balasan non-militer);
- Penghentian hubungan diplomatik atau ekonomi;
- Intervensi Dewan Keamanan PBB jika dianggap mengancam perdamaian internasional.
e. Mekanisme Sah Pembatalan Perjanjian
Pembatalan hanya sah bila melalui:
- Ketentuan dalam perjanjian (misalnya klausul penarikan diri);
- Kesepakatan bersama;
- Pelanggaran berat (Pasal 60 Konvensi Wina);
- Perubahan keadaan yang mendasar (Pasal 62 rebus sic stantibus) yang penerapannya sangat terbatas.
Tindakan Negara X tidak memenuhi syarat-syarat tersebut, sehingga tidak memiliki dasar hukum untuk menolak perjanjian.
Kesimpulan
Tindakan Negara X yang secara sepihak menolak perjanjian internasional pemerintahan sebelumnya tidak memiliki dasar hukum yang sah dalam hukum internasional. Tindakan ini bertentangan dengan prinsip pacta sunt servanda, asas kontinuitas negara, serta praktik internasional yang berlaku umum. Prinsip-prinsip tersebut menjamin stabilitas dan kepastian dalam hubungan antarnegara.
Komunitas internasional memiliki hak untuk menuntut pelaksanaan kewajiban perjanjian oleh Negara X serta menjatuhkan sanksi atau tekanan diplomatik. Penolakan sepihak tanpa dasar sah tidak hanya mencoreng reputasi internasional Negara X, tetapi juga melemahkan kredibilitasnya dalam hubungan global di masa mendatang.
Daftar Referensi:
- Klabbers, Jan. (2000). International Law. Cambridge University Press.
- Wahyuningsih, Sri Setianingsih. (2022). HKUM4206 Hukum Internasional. Tangerang: Universitas Terbuka.
- Shaw, Malcolm. (2017). International Law (8th ed.). Cambridge University Press.
Komentar