Korupsi Bukan Sekadar Mencuri, Menelusuri Perbedaan, Dampak, dan Stigma Sosial di Indonesia

BuletinNews.com – Dalam kehidupan sehari-hari, istilah korupsi dan mencuri sering kali digunakan secara bergantian oleh masyarakat. Ungkapan seperti “koruptor adalah pencuri uang rakyat” kerap terdengar di media sosial dan ruang publik. Namun, secara hukum dan kriminologis, kedua istilah tersebut memiliki perbedaan yang signifikan, baik dari segi pelaku, objek, maupun dampaknya terhadap masyarakat dan negara.

Secara hukum, pencurian diatur dalam Pasal 362 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), yaitu perbuatan mengambil barang milik orang lain tanpa hak dengan maksud untuk memiliki barang tersebut secara melawan hukum. Pelaku pencurian bisa siapa saja, tanpa memerlukan jabatan atau kewenangan tertentu.

Berbeda dengan itu, korupsi merupakan tindak pidana khusus (extraordinary crime) yang diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi. Korupsi melibatkan penyalahgunaan jabatan atau kewenangan untuk memperkaya diri sendiri, orang lain, atau suatu korporasi, yang menimbulkan kerugian pada keuangan negara atau perekonomian negara.

Dari segi subjek hukum, pencuri bisa berasal dari kalangan masyarakat biasa, sedangkan koruptor umumnya adalah pejabat publik, pegawai negeri, atau pihak yang memiliki amanah dari negara. Dari segi objek tindak pidana, pencurian biasanya menyasar barang pribadi yang berwujud, sementara korupsi berkaitan dengan keuangan negara, fasilitas publik, dan kekayaan yang seharusnya digunakan untuk kepentingan rakyat.

Dengan demikian, korupsi tidak identik dengan mencuri. Meskipun keduanya melibatkan pengambilan yang tidak sah, korupsi memiliki dampak sosial, ekonomi, dan moral yang jauh lebih luas karena mencederai kepercayaan publik terhadap negara dan keadilan sosial.

Mengapa Korupsi Selalu Dipandang Buruk oleh Masyarakat

Korupsi di Indonesia bukanlah fenomena baru. Dalam literatur hukum pidana, korupsi sering disebut sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena bersifat sistemik, merusak institusi, dan menghambat pembangunan. Stigma negatif terhadap korupsi muncul bukan hanya karena pelanggaran hukumnya, tetapi juga karena pelanggaran moral dan sosial yang menyertainya.

Ada beberapa alasan mengapa korupsi selalu distigma buruk di mata masyarakat:

  • Merugikan Keuangan Negara dan Kepentingan Publik
    Korupsi tidak hanya mencelakai satu individu, tetapi merugikan seluruh rakyat. Dana publik yang seharusnya digunakan untuk pendidikan, kesehatan, atau pembangunan infrastruktur menjadi berkurang atau hilang. Hal ini dijelaskan dalam UU No. 31/1999 jo UU No. 20/2001, bahwa korupsi mengakibatkan kerugian pada keuangan negara atau perekonomian negara.
  • Pengkhianatan terhadap Amanah Publik
    Pejabat publik memegang kepercayaan rakyat. Ketika kepercayaan itu disalahgunakan untuk keuntungan pribadi, masyarakat menganggapnya sebagai pengkhianatan moral yang lebih berat daripada pencurian biasa.
  • Merusak Nilai dan Norma Sosial
    Korupsi menghancurkan nilai kejujuran, integritas, dan keadilan. Ketika pejabat publik melakukan korupsi, masyarakat kehilangan kepercayaan terhadap institusi negara, hukum, dan pemerintahan. Penelitian linguistik oleh Dadang S. Anshori dalam Jurnal “Stigma Negatif Bahasa Korupsi dalam Pemberitaan Media Massa” menunjukkan bahwa istilah korupsi di media sering diasosiasikan dengan ketidakjujuran dan pelanggaran moral.
  • Menimbulkan Ketimpangan dan Ketidakadilan Sosial
    Korupsi memperkaya pihak-pihak tertentu yang memiliki akses terhadap kekuasaan, sementara masyarakat luas tidak mendapatkan manfaat dari sumber daya negara. Ketimpangan inilah yang menimbulkan kemarahan publik dan memperkuat stigma negatif terhadap korupsi.
  • Mengancam Stabilitas dan Pembangunan Nasional
    Dalam Kongres PBB ke-9 tahun 1995 di Kairo, disebutkan bahwa korupsi dapat membahayakan stabilitas dan keamanan masyarakat, merusak nilai-nilai demokrasi dan moralitas, serta menghambat pembangunan sosial, ekonomi, dan politik.

Dari perspektif hukum dan sosial, korupsi bukanlah sekadar tindakan mencuri uang rakyat, melainkan tindakan penyalahgunaan kekuasaan yang merusak sistem keadilan, kepercayaan, dan kesejahteraan publik.
Masyarakat memberikan stigma buruk terhadap korupsi karena dampaknya yang luas dan berkelanjutan, baik secara moral, ekonomi, maupun politik. Oleh karena itu, pemberantasan korupsi tidak hanya memerlukan penegakan hukum yang tegas, tetapi juga revolusi moral dan budaya integritas di seluruh lapisan masyarakat.

Daftar Pustaka:
Pujiyono. Tindak Pidana Korupsi, BMP HKUM4310, Universitas Terbuka, Edisi 2 (2025).
Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi jo Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001.
KUHP (Kitab Undang-Undang Hukum Pidana) Pasal 362 tentang Pencurian.
Dadang S. Anshori. Jurnal: Stigma Negatif Bahasa Korupsi dalam Pemberitaan Media Massa.
Kongres PBB ke-9 tentang Pencegahan Kejahatan dan Perlakuan terhadap Pelaku Kejahatan, Kairo (1995).

Karya: Andi Hendra

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Komentar