Oleh: Salsabila Kanza
Mahasiswa Jurusan Komunikasi dan Penyiaran Islam, UIN Sayyid Ali Rahmatullah Tulungagung
BuletinNews.com – Pagi itu, kabut tipis masih menyelimuti perbukitan Tulungagung ketika suara lesung terdengar dari dapur sederhana milik, sebut saja Ibu Warti. Tangannya lincah menumbuk biji kopi yang baru disangrai semalam, sementara dari ceret yang mengepul, aroma khas kopi ijo memenuhi ruangan. Tak ada mesin. Tak ada penggiling listrik. Semua dilakukan dengan tangan, dengan sabar, seperti yang diajarkan ibunya dahulu.
Inilah kopi waris. Kopi yang bukan hanya mengandung kafein, tapi juga menyimpan jejak ingatan, cinta, dan ketekunan yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Di setiap cangkir kopi, tersimpan lebih dari sekadar aroma dan rasa. Ada kisah panjang yang mengalir bersama uap hangatnya tentang tanah yang subur, tangan-tangan yang telaten, dan tradisi yang dirawat dengan sepenuh jiwa. Itulah yang tercermin dalam kopi waris Tulungagung, sebuah simbol kehangatan yang tak hanya menyentuh lidah, tapi juga menyentuh jiwa.
Kopi ini lebih dari sekadar sajian. Ia adalah identitas, budaya, dan sejarah yang melekat kuat dalam kehidupan masyarakat Tulungagung. Disebut “kopi waris” bukan tanpa alasan—karena racikan, rasa, dan proses pembuatannya diwariskan secara turun-temurun, dari nenek moyang kepada anak cucunya.
Awalnya, kopi waris hanya diseduh di dapur dapur keluarga. Biji kopi pilihan yang ditanam oleh petani lokal disangrai secara manual, ditumbuk dengan lesung batu, dan diseduh tanpa mesin. Proses ini tidak pernah tergesa-gesa. Ia membutuhkan kesabaran dan ketelitian dua hal yang kini kian langka di tengah budaya instan.
Namun waktu tak pernah berhenti. Dalam beberapa tahun terakhir, kopi waris mulai melangkah keluar dari ruang-ruang domestik. Ia hadir di angkringan, festival budaya, bahkan dipasarkan dalam kemasan menarik untuk menembus pasar lokal dan nasional. Meski demikian, banyak pelaku usaha tetap bersikukuh mempertahankan cara-cara tradisional.
Kopi waris berasal dari biji kopi pilihan yang ditanam di dataran tinggi mulai dari perbukitan Tulungagung, lereng Temanggung, hingga wilayah kopi unggulan seperti Toraja dan Gayo. Para petani menanamnya dengan pengetahuan turun-temurun, tanpa mengandalkan teknologi tinggi.
Namun yang menjadikan kopi ini istimewa bukan hanya asal tanamannya, melainkan tangan yang mengolahnya. Tidak ada resep baku. Setiap keluarga memiliki racikan dan takaran khas masing-masing. Inilah yang menjadikan kopi waris memiliki spektrum rasa yang begitu luas namun tetap autentik.
“Setiap cangkir memiliki sentuhan pribadi,” kata Siti, generasi ketiga dari keluarga peracik kopi tradisional di desa Ngunut, Tulungagung. “Kopi buatan ibu saya tidak sama dengan nenek saya, meski pakai biji yang sama. Di situlah nilai warisannya.”
Kopi waris tidak hanya menjadi penanda budaya, tetapi juga penggerak ekonomi. Banyak warga desa kini bergabung dalam komunitas usaha kecil berbasis kopi, menciptakan produk yang tak hanya menjual rasa, tapi juga nilai dan narasi.
UMKM kopi waris di Tulungagung misalnya, telah menjadi kekuatan baru dalam pemberdayaan masyarakat. Dengan tetap menjunjung tinggi metode tradisional, mereka membuktikan bahwa modernisasi tak harus memutus akar budaya. Sebaliknya, ia bisa menjadi jembatan untuk memperkenalkan kekayaan lokal ke khalayak yang lebih luas.
Produk-produk kopi waris kini hadir dalam bentuk bubuk, biji sangrai, hingga kopi siap seduh yang dikemas menarik. Namun dalam setiap bungkus, tetap terselip cerita tentang ladang, keluarga, dan tekad untuk terus menjaga yang diwariskan.
Kopi waris bukan hanya tentang rasa yang nikmat. Ia adalah cara masyarakat mengekspresikan ketekunan, kesabaran, dan keterikatan pada identitas. Dalam dunia yang semakin cepat, kopi waris hadir sebagai pengingat akan pentingnya proses dan makna dari sesuatu yang dikerjakan dengan hati.
“Warisan tidak selalu berupa tanah atau emas. Terkadang, ia hadir dalam bentuk aroma kopi yang kita hirup bersama keluarga, dalam racikan yang tak pernah ditulis, hanya diajarkan,” tulis penulis artikel ini, Salsabila Kanza, mahasiswa Komunikasi dan Penyiaran Islam UIN SATU Tulungagung.
Dalam setiap seruput kopi waris, kita sedang meneguk bagian dari sejarah hidup masyarakat yang tumbuh bersama tanahnya. Kita sedang mencicipi cinta dari para petani, ketekunan dari para peracik, dan kebanggaan dari sebuah komunitas yang menolak dilupakan oleh waktu.
Kopi waris mengajarkan kita bahwa warisan sejati bukan yang disimpan, tetapi yang terus hidup dan diwariskan. Dan kadang, ia datang dalam bentuk yang paling sederhana secangkir kopi hangat di pagi hari.
Komentar