
BuletinNews.com – Pasar modal menjadi salah satu tulang punggung pembangunan ekonomi Indonesia. Melalui pasar modal, masyarakat bisa berinvestasi, perusahaan memperoleh modal, dan negara memperkuat stabilitas perekonomian. Namun, semua itu hanya akan berjalan sehat bila setiap pelaku memegang teguh integritas dan keterbukaan informasi.
Sayangnya, praktik insider trading atau perdagangan orang dalam masih menjadi bayang-bayang gelap di balik gemerlap dunia investasi. Praktik ini terjadi ketika seseorang yang memiliki akses terhadap informasi material yang belum diketahui publik menggunakan informasi tersebut untuk membeli atau menjual efek demi keuntungan pribadi.
Menyalahgunakan Kepercayaan dan Melanggar Prinsip Keterbukaan
Dalam dunia hukum, insider trading dianggap sebagai bentuk penyalahgunaan kepercayaan (abuse of trust) dan pelanggaran terhadap prinsip keterbukaan (disclosure principle).
Menurut Febby Mutiara Nelson (2021) dalam bukunya Hukum Pidana Ekonomi (FSIH4303), tindak pidana ekonomi dilakukan secara profesional, menggunakan sarana ekonomi yang sah tetapi disalahgunakan untuk keuntungan pribadi, serta berdampak luas terhadap sistem ekonomi.
Insider trading memenuhi seluruh unsur itu. Pelakunya biasanya pejabat tinggi perusahaan seperti direksi, komisaris, atau pemegang saham utama yang justru seharusnya menjaga integritas korporasi. Akibatnya, tidak hanya investor kecil yang dirugikan, tapi juga kepercayaan masyarakat terhadap pasar modal ikut terkikis.
Payung Hukum yang Tegas, Tapi Sulit Dibuktikan
Praktik insider trading diatur tegas dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1995 tentang Pasar Modal (UUPM).
Pasal 95 dan 96 UUPM melarang orang dalam perusahaan publik menggunakan informasi material yang belum tersedia untuk publik guna bertransaksi efek, baik untuk dirinya sendiri maupun pihak lain.
Pelanggar aturan ini diancam pidana penjara hingga 10 tahun dan denda maksimal Rp15 miliar (Pasal 104 UUPM). Meski begitu, pembuktian kasus insider trading tidaklah mudah.
Informasi bersifat digital, lintas yurisdiksi, dan sering kali hanya bisa dilacak melalui audit forensik dan analisis transaksi elektronik yang dilakukan oleh Otoritas Jasa Keuangan (OJK) bersama aparat penegak hukum.
Aspek Moral dan Keadilan Ekonomi
Lebih dari sekadar pelanggaran hukum, insider trading juga merupakan pelanggaran moral ekonomi. Dalam hukum perusahaan, tindakan ini bertentangan dengan prinsip fiduciary duty, yaitu kewajiban moral dan hukum bagi pengurus perusahaan untuk bertindak dengan itikad baik serta mengutamakan kepentingan perusahaan dan pemegang saham.
Secara etika ekonomi, insider trading menciptakan ketimpangan karena sebagian pelaku menikmati keuntungan dari informasi yang tidak dimiliki publik. Akibatnya, asas keadilan distributif dan level playing field dalam ekonomi menjadi rusak.
Kejahatan Sunyi dengan Dampak Sistemik
Ahli hukum ekonomi Sutan Remy Sjahdeini (1993) menyebut kejahatan ekonomi sebagai systemic crime, yaitu kejahatan yang berdampak luas terhadap mekanisme ekonomi nasional. Insider trading termasuk dalam kategori ini. Dampaknya tidak hanya menghancurkan reputasi perusahaan, tetapi juga menggerus kepercayaan terhadap seluruh sistem pasar modal.
Menegakkan Hukum, Menjaga Kepercayaan
Penegakan hukum terhadap insider trading harus dilakukan secara komprehensif dan kolaboratif, melibatkan pendekatan pidana, korporasi, dan digital forensik. Lebih dari itu, pelaku pasar dan regulator perlu membangun budaya kepatuhan dan transparansi sebagai pilar utama pasar modal yang sehat dan berkeadilan.
Insider trading bukan sekadar pelanggaran hukum tetapi pengkhianatan terhadap integritas ekonomi bangsa.
Karya: Andi Hendra











Komentar