Eksepsi Absolut dalam Hukum Acara Perdata

BuletinNews.com – Dalam praktik peradilan perdata, eksepsi merupakan instrumen penting yang memungkinkan tergugat menolak atau membantah gugatan tanpa harus memasuki pemeriksaan pokok perkara. Menurut Benny Riyanto (2022), eksepsi dapat diajukan apabila terdapat cacat formil dalam gugatan atau ketika pengadilan dianggap tidak berwenang memeriksa perkara tersebut. Salah satu bentuk yang paling mendasar adalah eksepsi absolut, yaitu keberatan yang menyangkut kompetensi absolut pengadilan (absolute competence)—yakni kewenangan lembaga peradilan untuk memeriksa perkara berdasarkan jenisnya atau lingkungan peradilannya.

Dalam hukum acara perdata, setiap pihak berhak mengajukan keberatan (eksepsi) terhadap gugatan lawannya apabila dianggap tidak sesuai dengan ketentuan hukum formil. Salah satu bentuk eksepsi yang paling penting adalah eksepsi absolut, yaitu keberatan terhadap kewenangan mutlak pengadilan untuk memeriksa dan memutus suatu perkara.

Menurut Benny Riyanto (2022), eksepsi absolut berkaitan dengan jurisdictional authority pengadilan, yakni apakah perkara tersebut termasuk dalam yurisdiksi peradilan umum, agama, tata usaha negara, atau peradilan khusus lainnya. Jika eksepsi absolut diajukan, hakim wajib terlebih dahulu menjatuhkan putusan sela (interlocutoir) sebelum memeriksa pokok perkara.

Selanjutnya, Prof. Rosa Agustina (2021) menjelaskan bahwa eksepsi absolut merupakan keberatan yang berkaitan dengan ketiadaan kewenangan mutlak suatu pengadilan untuk mengadili jenis perkara tertentu, karena objek atau subjek perkaranya termasuk dalam kewenangan lingkungan peradilan lain. Misalnya, sengketa hubungan industrial yang diajukan ke Pengadilan Negeri seharusnya menjadi kewenangan Pengadilan Hubungan Industrial (PHI).

Berdasarkan Pasal 134 HIR dan Pasal 132 Rv, tergugat dapat mengajukan eksepsi absolut kapan pun selama proses pemeriksaan, hingga sebelum putusan dijatuhkan, baik di tingkat pertama, banding, maupun kasasi. Pasal 136 HIR memberi kewenangan kepada hakim untuk memutus eksepsi lebih dahulu melalui putusan sela, sedangkan Pasal 185 HIR membedakan antara putusan akhir dan putusan sela. Selain itu, Pasal 178 ayat (2) dan (3) HIR menegaskan bahwa hakim tidak boleh memutus di luar tuntutan atau mengabulkan lebih dari yang diminta penggugat.

Dalam hukum acara perdata, putusan sela (interlocutoir) merupakan putusan yang tidak mengakhiri perkara, melainkan bertujuan memperlancar proses pemeriksaan. Salah satu contohnya adalah ketika hakim memutus eksepsi absolut terlebih dahulu untuk memastikan kewenangan pengadilan. Apabila perkara ternyata berada di luar kewenangan pengadilan, maka hakim wajib menyatakan tidak berwenang, baik atas permintaan pihak maupun ex officio, sebagaimana diatur dalam Pasal 134 HIR.

Putusan sela ini bersifat interlocutoir, karena dapat memengaruhi hasil akhir perkara. Jika eksepsi diterima, pemeriksaan dihentikan; namun jika ditolak, proses berlanjut ke tahap pembuktian.

Apabila hakim menerima eksepsi absolut, konsekuensinya sebagai berikut:

1. Pengadilan dinyatakan tidak berwenang secara absolut.
2. Gugatan dinyatakan tidak dapat diterima (Niet Ontvankelijk Verklaard) karena pengadilan tidak berwenang memeriksa jenis perkara tersebut.
3. Pemeriksaan perkara dihentikan tanpa memeriksa pokok sengketa.

Contoh penerapan terdapat pada Pasal 3 UU Arbitrase, di mana apabila kontrak memuat klausul arbitrase, pengadilan negeri wajib menyatakan tidak berwenang. Dengan demikian, gugatan harus diajukan ke forum arbitrase sesuai kesepakatan para pihak.

Menurut LBH-RI (2024), putusan sela yang menerima eksepsi absolut mengakhiri proses di pengadilan tersebut, namun penggugat masih dapat mengajukan gugatan ulang ke forum yang berwenang.

Sebaliknya, apabila hakim menolak eksepsi absolut, maka pemeriksaan dilanjutkan ke tahap pembuktian dan pemeriksaan materi perkara. Benny Riyanto (2022) menegaskan bahwa penolakan eksepsi absolut berarti pengadilan telah menetapkan yurisdiksinya secara positif (positive competence).

Sesuai Pasal 190 ayat (1) HIR, putusan sela tidak dapat langsung diajukan banding atau kasasi, tetapi hanya dapat disertakan dalam upaya hukum terhadap putusan akhir. Putusan sela yang menolak eksepsi absolut mengikat para pihak selama proses pemeriksaan.

Dalam praktik, eksepsi absolut sering muncul dalam konteks bisnis dan kontrak yang mengandung klausul arbitrase. Menurut Gatot P. Soemartono (2021), apabila kontrak secara tegas menetapkan penyelesaian sengketa melalui arbitrase, maka setiap gugatan ke pengadilan umum harus dinyatakan tidak dapat diterima. Sebaliknya, jika tidak terdapat klausul arbitrase dan objek sengketa bersifat keperdataan murni, maka pengadilan negeri berwenang memeriksa perkara dan eksepsi ditolak.

Sebagai kesimpulan, eksepsi absolut merupakan keberatan terhadap kewenangan mutlak pengadilan yang dapat diputus terlebih dahulu melalui putusan sela. Jika eksepsi diterima, pengadilan dinyatakan tidak berwenang, gugatan tidak dapat diterima, dan pemeriksaan dihentikan. Namun, jika eksepsi ditolak, pengadilan tetap berwenang memeriksa pokok perkara, dan putusan sela tidak dapat dikasasi langsung, melainkan bersama putusan akhir.

Artikel Hukum Karya Andi Hendra

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Komentar