Batas Usia Dewasa dalam Hukum Agraria, Ini Penjelasan Hukumnya

Kolaka, BuletinNews.com – Meski Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) No. 5 Tahun 1960 tidak secara tegas menyebutkan batas usia dewasa untuk melakukan tindakan hukum seperti jual beli atau peralihan hak atas tanah, namun pelaksanaannya tetap mengacu pada ketentuan hukum perdata yang berlaku di Indonesia.

Dalam hal ini, acuan utama adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), khususnya Pasal 330 yang menyatakan bahwa seseorang dianggap belum dewasa jika belum berusia 21 tahun dan belum menikah. Artinya, seseorang baru dapat melakukan perbuatan hukum agraria seperti jual beli atau sewa-menyewa tanah jika telah berusia 21 tahun atau sudah pernah menikah.

Ketentuan ini diperkuat pula dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, yang memang tidak menyebutkan secara eksplisit batas usia, namun menyatakan bahwa pelaku perbuatan hukum haruslah pihak yang cakap hukum, yang berarti tunduk pada ketentuan hukum perdata.

Ahli hukum agraria Maria SW Sumardjono menegaskan bahwa prinsip umum hukum perdata tetap berlaku dalam konteks agraria. “Dalam hukum agraria, kecakapan bertindak tetap mengacu pada usia 21 tahun atau sudah menikah,” ujarnya dalam karyanya Tanah dalam Perspektif Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya (2001).

UUPA sendiri lebih menitikberatkan pada pengaturan hak atas tanah dan pendaftarannya (Pasal 19–21), sehingga aspek kecakapan hukum tidak dibahas secara khusus. Oleh karena itu, dalam praktik hukum, batas usia dewasa tetap merujuk pada ketentuan KUHPerdata.

Dengan demikian, setiap perbuatan hukum di bidang agraria yang melibatkan individu harus memperhatikan status kecakapan hukum sesuai ketentuan perdata. Hal ini penting untuk menghindari sengketa hukum di kemudian hari.

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Komentar