Analisis Hukum Perdata Terhadap Wanprestasi Akibat Force Majeure

BuletinNews.com – Dalam Hukum Perdata Indonesia, khususnya dalam konteks hukum perjanjian, peristiwa wanprestasi akibat kejadian di luar kekuasaan para pihak (force majeure) sering menjadi dasar dalam menyelesaikan sengketa kontraktual. Kasus antara Andi dan Toko Matahari menimbulkan persoalan mengenai pemenuhan prestasi dalam jual beli barang yang mengalami kerusakan saat pengiriman karena banjir (force majeure). Untuk menjawab pertanyaan ini, kita akan merujuk pada prinsip-prinsip hukum perdata dalamHukum Perdata dan Etika Profesi.

1. Bagaimana perjanjian ini dalam hukum perdata berdasarkan pengetahuan saudara?

Dalam hukum perdata, perjanjian adalah sumber perikatan antara dua pihak yang saling mengikatkan diri untuk melakukan sesuatu (Pasal 1313 KUH Perdata). Syarat sahnya perjanjian diatur dalam Pasal 1320 KUH Perdata yang terdiri dari: Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya, Cakap untuk membuat perjanjian, Mengenai suatu hal tertentu, dan Suatu sebab yang halal.

Jika semua syarat tersebut terpenuhi, maka perjanjian yang dibuat antara Andi dan Toko Matahari sah dan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak (Pasal 1338 KUH Perdata).

Namun, dalam kasus ini terjadi keadaan force majeure (keadaan memaksa), yaitu banjir yang menyebabkan barang rusak saat pengiriman. Berdasarkan doktrin hukum perikatan yang dijelaskan dalam Materi Sesi 6, jika suatu kewajiban tidak dapat dilaksanakan karena force majeure, maka pihak yang seharusnya melaksanakan kewajiban tersebut tidak dapat dianggap melakukan wanprestasi.

Dengan demikian, Toko Matahari dapat dibebaskan dari tanggung jawab atas cacat barang yang terjadi karena keadaan di luar kendalinya. Namun, karena barang yang diterima oleh Andi tidak sesuai dengan yang diperjanjikan (cacat fisik), maka ia berhak untuk menolak pelunasan pembayaran dan menuntut pengembalian uang muka jika tidak ada solusi penggantian barang.

2. Bagaimana seharusnya masing-masing pihak agar mencapai kesepakatan bersama?

Untuk mencapai kesepakatan bersama, kedua belah pihak harus mengedepankan asas itikad baik (good faith) dalam pelaksanaan perjanjian, sebagaimana menjadi asas penting dalam hukum kontrak.

Langkah yang bisa diambil Andi, sebagai pembeli, dapat menyampaikan keberatan secara tertulis atas kondisi barang dan meminta: Penggantian barang dengan yang baru sesuai kesepakatan, Atau pengembalian uang muka 50% jika barang pengganti tidak tersedia.

Toko Matahari, sebagai penjual, sebaiknya bersikap proaktif dengan: Menawarkan kompensasi (penggantian atau pengembalian dana), Menunjukkan bukti bahwa kerusakan memang terjadi karena force majeure.

Jika diperlukan, kedua pihak dapat menggunakan bantuan mediator atau menyelesaikan melalui jalur perdata di pengadilan dengan membawa bukti-bukti perjanjian dan kondisi barang.

Perjanjian antara Andi dan Toko Matahari sah menurut hukum perdata, namun pelaksanaan perjanjiannya terhalang oleh force majeure. Dalam hal ini, penyelesaian terbaik adalah musyawarah dengan mempertimbangkan prinsip itikad baik dan keadilan bagi kedua belah pihak. Jika penyelesaian tidak tercapai, maka penyelesaian hukum dapat ditempuh sesuai ketentuan hukum perikatan dan wanprestasi yang berlaku.

Sumber Referensi:

KUH Perdata (Burgerlijk Wetboek voor Indonesië).
– Universitas Terbuka. (2020). Modul 7 HKUM4103 Hukum Perdata dan Etika Profesi. Jakarta: Universitas Terbuka.
– Subekti, R. (2005). Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa.
– Salim, H.S. (2013). Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUHPerdata. Jakarta: RajaGrafindo Persada.

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Komentar