
BuletinNews.com – Penangkapan merupakan salah satu tindakan penting dalam proses penegakan hukum pidana karena berhubungan langsung dengan pembatasan kebebasan seseorang. Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, tindakan ini dikategorikan sebagai upaya paksa, yang hanya dapat dilakukan oleh aparat penegak hukum berdasarkan prosedur dan ketentuan hukum yang diatur secara tegas dalam undang-undang. Mengingat penangkapan menyentuh hak asasi manusia (HAM), khususnya hak atas kebebasan pribadi, maka pelaksanaannya harus sejalan dengan prinsip due process of law dan asas legalitas.
Sebagaimana dijelaskan oleh Eddy (2021) dalam Buku Materi Pokok Hukum Acara Pidana (BMP HKU4406), tindakan penangkapan tidak semata-mata bersifat administratif, melainkan merupakan bagian integral dari sistem hukum yang menjamin keseimbangan antara kepentingan penegakan hukum dan perlindungan hak-hak warga negara. Oleh karena itu, setiap tindakan penangkapan harus memiliki dasar hukum yang sah agar tidak bertentangan dengan prinsip negara hukum (rechtstaat).
Dalam hukum acara pidana, penangkapan bertujuan memastikan agar seseorang yang diduga melakukan tindak pidana dapat diperiksa lebih lanjut serta mencegahnya melarikan diri, menghilangkan barang bukti, atau mengulangi perbuatannya. Berdasarkan Pasal 1 angka 20 KUHAP, penangkapan adalah tindakan penyidik berupa pengekangan sementara terhadap kebebasan tersangka atau terdakwa apabila terdapat dugaan kuat telah terjadi tindak pidana.
Penangkapan memiliki fungsi strategis dalam tahap penyidikan, karena memungkinkan penyidik memperoleh keterangan dan alat bukti secara lebih komprehensif. Meskipun demikian, pelaksanaannya harus tetap memperhatikan asas keadilan dan proporsionalitas, sebab tindakan ini dapat berdampak langsung terhadap kebebasan dan martabat seseorang.
Adapun dasar hukum penangkapan diatur secara eksplisit dalam Pasal 16 sampai dengan Pasal 19 KUHAP (Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981). Berdasarkan ketentuan tersebut, penangkapan hanya dapat dilakukan oleh penyidik atau penyidik pembantu terhadap seseorang yang diduga keras melakukan tindak pidana berdasarkan bukti permulaan yang cukup.
Dalam pelaksanaannya, penyidik wajib menunjukkan Surat Perintah Penangkapan yang berisi identitas tersangka, alasan penangkapan, serta uraian singkat dugaan tindak pidana yang disangkakan. Selain itu, tembusan surat tersebut harus diberikan kepada keluarga tersangka. Ketentuan ini bertujuan mencegah tindakan sewenang-wenang dan memastikan bahwa tersangka mengetahui secara jelas dasar hukum penangkapannya.
Pasal 17 KUHAP menegaskan bahwa penangkapan hanya dapat dilakukan apabila terdapat bukti permulaan yang cukup. Menurut Elok Faikotul Hasana (2024) dalam Jurnal Media Akademik (JMA) Vol. 2 No. 12, bukti permulaan yang cukup merupakan syarat minimal yang wajib dipenuhi agar tindakan penangkapan memiliki legitimasi hukum. Tanpa bukti tersebut, penangkapan dapat dianggap melanggar hak asasi manusia dan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence).
Secara prinsip, setiap tindakan penangkapan harus didasarkan pada surat perintah. Namun, hukum memberikan pengecualian dalam keadaan tertentu. Berdasarkan Pasal 18 ayat (2) KUHAP, penangkapan tanpa surat perintah dimungkinkan apabila seseorang tertangkap tangan (in flagrante delicto) sedang melakukan tindak pidana. Dalam kondisi demikian, siapapun, termasuk masyarakat, berhak melakukan penangkapan dan wajib menyerahkan pelaku beserta barang bukti kepada pejabat berwenang.
Sebagaimana dijelaskan oleh Eddy (2021), ketentuan ini dimaksudkan untuk menjaga efektivitas penegakan hukum dalam keadaan darurat, ketika penangkapan harus segera dilakukan guna mencegah pelaku melarikan diri atau menghilangkan barang bukti. Namun, penyidik tetap berkewajiban menerbitkan surat penangkapan secara administratif setelah tindakan dilakukan serta melaporkannya kepada atasan dan keluarga tersangka. Dengan demikian, meskipun penangkapan tanpa surat perintah diperbolehkan, hal tersebut merupakan pengecualian terbatas yang harus segera diikuti dengan proses hukum formal agar tetap sesuai dengan prinsip rule of law dan tidak melanggar hak asasi manusia.
Selain itu, pelaksanaan penangkapan harus memperhatikan prinsip perlindungan hak tersangka. Berdasarkan Pasal 50 KUHAP, setiap orang yang ditangkap berhak mengetahui secara jelas alasan penangkapannya dan berhak didampingi penasihat hukum sejak awal pemeriksaan. Hal ini diperkuat oleh Pasal 9 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia, yang menyatakan bahwa tidak seorang pun boleh ditangkap atau ditahan secara sewenang-wenang. Penerapan prinsip tersebut merupakan bentuk implementasi asas praduga tak bersalah, di mana setiap tersangka harus diperlakukan sebagai subjek hukum yang memiliki hak untuk membela diri. Oleh karena itu, aparat penegak hukum wajib melaksanakan penangkapan dengan itikad baik, sesuai hukum, serta menjauhi tindakan diskriminatif.
Berdasarkan prinsip hukum acara pidana dan perlindungan HAM, penangkapan terhadap seseorang yang diduga melakukan tindak pidana sah apabila dilakukan oleh pejabat berwenang, didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, dan disertai surat perintah penangkapan. Namun, dalam keadaan tertangkap tangan, hukum memperbolehkan penangkapan tanpa surat perintah sebagaimana diatur dalam Pasal 18 ayat (2) KUHAP. Pendapat ini sejalan dengan analisis Eddy (2021) yang menyatakan bahwa penangkapan tanpa surat perintah merupakan pengecualian hukum yang harus dilakukan secara hati-hati dan hanya dalam keadaan mendesak. Setelah penangkapan dilakukan, penyidik wajib segera menindaklanjuti dengan administrasi hukum yang lengkap agar tindakan tersebut tetap berada dalam koridor hukum dan tidak melanggar hak asasi manusia.
Dengan demikian, setiap tindakan penangkapan harus dilandasi oleh tiga prinsip utama, yaitu legalitas, proporsionalitas, dan akuntabilitas.
Prinsip legalitas memastikan bahwa tindakan dilakukan berdasarkan ketentuan hukum yang berlaku.
Prinsip proporsionalitas menekankan keseimbangan antara kepentingan penegakan hukum dan perlindungan hak individu.
Prinsip akuntabilitas mengharuskan setiap tindakan aparat dapat dipertanggungjawabkan secara hukum maupun etika.
Daftar Pustaka
– Eddy. (2021). Hukum Acara Pidana (BMP HKU4406). Universitas Terbuka.
– Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
– Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia.
– Hasana, Elok Faikotul. (2024). Pengertian Penyelidikan dan Penyidikan dalam Hukum Acara Pidana. Jurnal Media Akademik (JMA), Vol. 2 No. 12.
– Kurnia, Vani, dkk. (2021). “Tinjauan Yuridis terhadap Tugas dan Kewenangan Jaksa sebagai Penyidik dalam Perkara Tindak Pidana Korupsi.” PAMPAS Journal of Criminal Law, 1(3). https://doi.org/10.22437/pampas.v1i3.11084
Karya: Andi Hendra











Komentar