BuletinNews.com – Dalam kerangka filsafat hukum dan etika profesi, kedudukan hakim tidak hanya dilihat sebagai pelaksana hukum positif, tetapi sebagai aktor moral yang bertanggung jawab untuk menegakkan keadilan secara substantif. Hal ini sejalan dengan doktrin klasik dalam pemikiran hukum Romawi yang menyatakan quid leges sine moribus (apa arti hukum tanpa moral?) Dalam konteks ini, moralitas menjadi sumber daya normatif yang memandu penegakan hukum agar tidak jatuh pada formalisme legalistik yang kering dan kehilangan makna sosial. Hakikat profesi hukum sebagai officium nobile atau jabatan mulia mengandung implikasi bahwa selain tunduk pada norma yuridis, profesi ini wajib berakar pada fondasi moral dan etika profesional yang kokoh.
Dalam perspektif filsafat hukum klasik hingga kontemporer, hukum tidak boleh dipisahkan dari nilai moral. Pepatah Romawi quid leges sine moribus menyiratkan bahwa hukum tanpa moral akan kehilangan maknanya. Maka, integritas moral menjadi syarat fundamental dalam penegakan hukum. Hal ini sangat relevan ketika kita menyaksikan banyaknya hakim yang terjerat kasus korupsi, yang menunjukkan degradasi nilai-nilai moral dalam dunia peradilan.
Analisis Pemaknaan Penegak Hukum sebagai Officium Nobile bagi Profesi Hakim yang Banyak Tertangkap KPK.
Profesi hakim disebut sebagai officium nobile (jabatan mulia), karena mengemban tugas suci untuk menegakkan keadilan, yang oleh sebagian kalangan disebut sebagai “wakil Tuhan di dunia.” Hakim memiliki wewenang untuk menentukan nasib orang lain melalui putusan yang mengikat secara hukum. Oleh karena itu, kehormatan profesi hakim tidak semata ditentukan oleh keahlian hukum, tetapi terutama oleh integritas moral dan komitmen etis.
Dalam profesi hukum yang etis harus dipandu oleh tiga prinsip utama:
– Etika deontologis, yaitu kewajiban moral untuk melakukan yang benar demi kebenaran itu sendiri.
Etika teleologis, yang menilai tindakan berdasarkan akibatnya terhadap keadilan masyarakat.
– Etika profesional, yang melekat pada norma dan kode etik profesi hukum.
Hakim sebagai officium nobile bertanggung jawab bukan hanya pada negara dan undang-undang, tetapi pada hati nurani dan moral publik. Namun dalam praktik, seperti ditunjukkan oleh kasus banyaknya hakim yang tertangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), makna officium nobile menjadi sekadar retorika. Fenomena ini mencerminkan kegagalan internalisasi nilai-nilai etis dalam diri para hakim. Dalam konteks ini, Etika Profesi Hukum menekankan bahwa hakim harus menjaga martabatnya melalui professional integrity, objectivity, dan justice-oriented mindset.
Menurut Burhan Bungin dalam Filsafat Profesi Hukum, saat profesi hukum kehilangan nilai etikanya, maka ia hanya menjadi alat kekuasaan atau bahkan komoditas yang diperdagangkan. Ketika hakim bertindak karena motivasi non-hukum (misalnya suap atau tekanan politik), maka ia tidak hanya melanggar hukum positif, tetapi juga menghancurkan asas-asas dasar dalam filsafat hukum, yaitu keadilan (ius), kebaikan (bonum), dan moralitas (mores).
Hakim yang korup dan tidak bermoral tidak hanya menyalahi UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, tetapi juga mencemari ruh jabatan yang mulia (officium nobile).
Dekadensi moral di kalangan hakim berdampak luas terhadap sistem hukum:
– Keadilan menjadi terdistorsi.
– Kepercayaan publik runtuh.
– Peradilan kehilangan wibawa.
Oleh karena itu, pemaknaan kembali officium nobile harus dimulai dari:
Reformasi pendidikan hukum: Pendidikan hukum harus menekankan ethical reasoning, bukan sekadar legal knowledge.
Komentar