
BuletinNews.com – Sengketa antara PT Kmalam Electricity & Machinery Co. Pte. Ltd. (Singapura) dan PT Lsiang Plywood Industries (Spanyol) merupakan kasus kontrak dagang internasional yang melibatkan unsur asing dari beberapa negara, termasuk Singapura, Spanyol, Malaysia, dan Thailand. Persoalan utama yang muncul adalah bagaimana hakim menentukan kualifikasi hukum (qualification) dan apakah dimungkinkan terjadinya renvoi dalam penerapan hukum perdata internasional.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis penerapan asas lex fori, lex loci contractus, serta prinsip party autonomy dalam kasus tersebut. Berdasarkan analisis terhadap teori dan doktrin Hukum Perdata Internasional (HPI), disimpulkan bahwa kualifikasi hukum kasus ini termasuk dalam bidang hukum perikatan (kontrak dagang internasional). Selain itu, renvoi tidak terjadi karena perkara kontrak tunduk pada asas kebebasan berkontrak. Namun, secara hipotetis, jika renvoi muncul, maka teori Single Renvoi (Remission) merupakan pendekatan yang paling relevan diterapkan oleh hakim.
Hukum Perdata Internasional (HPI) mengatur hubungan hukum yang melibatkan unsur asing, baik dari sisi subjek hukum, objek, maupun tempat terjadinya hubungan hukum tersebut. Dalam praktiknya, sengketa kontrak dagang internasional sering menimbulkan persoalan terkait penentuan hukum mana yang berlaku (lex causae), khususnya ketika melibatkan lebih dari satu sistem hukum nasional.
Kasus antara PT Kmalam Electricity & Machinery Co. Pte. Ltd. (Singapura) dan PT Lsiang Plywood Industries (Spanyol) menjadi ilustrasi nyata dari permasalahan tersebut. Sengketa ini mencerminkan kompleksitas kontrak lintas negara, di mana proses kualifikasi hukum dan penerapan asas renvoi menjadi titik penting dalam menentukan hukum yang berwenang digunakan.
Menurut Dr. Yulia (2016) dan Sudargo Gautama, tahapan pertama dalam HPI adalah kualifikasi (qualification), yaitu upaya menentukan jenis hubungan hukum yang terjadi apakah termasuk bidang kontrak, status personal, atau benda. Sementara itu, Basuki (2021:103) menegaskan bahwa hakim pada dasarnya menggunakan hukum negaranya sendiri untuk menentukan kualifikasi suatu hubungan hukum (lex fori qualification).
Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan pendekatan perundang-undangan (statute approach) dan pendekatan konseptual (conceptual approach). Bahan hukum primer terdiri dari KUHPerdata, KUHAP, Naskah Akademik RUU HPI (BPHN, 2014), dan doktrin para ahli hukum internasional privat. Analisis dilakukan secara kualitatif deskriptif, dengan menafsirkan teori hukum dan asas-asas umum HPI, terutama yang berkaitan dengan konsep kualifikasi hukum dan renvoi dalam sengketa kontrak internasional.
1. Kualifikasi Hukum oleh Hakim
Kualifikasi hukum merupakan tahap awal dalam proses penyelesaian perkara HPI. Menurut Basuki (2021), hakim menggunakan hukum negaranya sendiri untuk menilai sifat suatu hubungan hukum (lex fori qualification). Dalam kasus ini, karena forum peradilan berada di Barcelona, maka hukum Spanyol berperan sebagai lex fori.
Dengan mengacu pada teori tersebut, hakim di Barcelona akan mengkualifikasikan sengketa ini sebagai perjanjian jual beli internasional (international sales contract). Objek sengketa berupa mesin dan spare parts menandakan hubungan hukum yang bersifat komersial dan lintas negara, bukan terkait status personal maupun benda tetap.
Secara substansial, hubungan hukum ini termasuk dalam bidang hukum perikatan (kontrak dagang internasional) yang tunduk pada lex loci contractus (tempat kontrak dibuat) atau lex loci solutionis (tempat prestasi dilaksanakan). Karena kontrak ditandatangani di Barcelona, maka secara umum hukum Spanyol berlaku sebagai hukum kontrak, kecuali para pihak menentukan hukum lain melalui klausul pilihan hukum (choice of law).











Komentar