Analisis Keabsahan Clickwrap Agreement dalam Perspektif Asas Kebebasan Berkontrak

BuletinNews.com – Dalam praktik bisnis modern, terutama di era digital, hubungan hukum antara penyedia layanan dan pengguna sering kali dituangkan dalam perjanjian elektronik, salah satunya berbentuk clickwrap agreement. Jenis perjanjian ini dianggap sah ketika pengguna menekan tombol “setuju” pada syarat dan ketentuan yang telah ditentukan oleh penyedia layanan. Fenomena ini menimbulkan perdebatan akademik mengenai apakah asas kebebasan berkontrak (freedom of contract) masih benar-benar terwujud, khususnya dalam konteks unsur kesepakatan (consensus ad idem) sebagaimana diatur dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Menurut Nindyo Pramono dalam buku Hukum Bisnis, asas kebebasan berkontrak merupakan prinsip dasar hukum perjanjian yang memberikan kebebasan kepada para pihak untuk menentukan isi, bentuk, dan syarat perjanjian mereka sendiri. Hal ini ditegaskan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, yang menyatakan bahwa “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya.”

Namun, di era digital, bentuk perjanjian mengalami perubahan signifikan. Interaksi personal dan negosiasi langsung antar pihak kini digantikan oleh kontrak elektronik otomatis yang bersifat sepihak. Dalam clickwrap agreement, pengguna hanya dihadapkan pada dua pilihan: setuju atau tidak setuju terhadap syarat dan ketentuan yang telah disusun sepenuhnya oleh penyedia layanan. Artinya, pengguna tidak memiliki ruang negosiasi—hanya dapat menerima atau menolak seluruh isi perjanjian (take it or leave it).

Secara formal yuridis, clickwrap agreement tetap sah karena memenuhi unsur perjanjian sebagaimana Pasal 1320 KUH Perdata, yakni adanya kesepakatan, kecakapan, objek tertentu, dan sebab yang halal. Namun secara substansial, asas kebebasan berkontrak menjadi terbatas, karena pengguna tidak benar-benar bebas menentukan isi kontrak; seluruh ketentuan telah ditentukan secara sepihak oleh penyedia.

Berdasarkan Pasal 1321 KUH Perdata, kesepakatan harus diberikan secara bebas tanpa adanya kekhilafan, paksaan, atau penipuan. Dalam praktiknya, kesepakatan dalam clickwrap agreement sering kali bersifat formalistik dan pasif. Pengguna menekan tombol setuju bukan karena memahami seluruh isi perjanjian, tetapi semata agar dapat segera menggunakan layanan.

Meskipun demikian, clickwrap agreement tetap diakui sah secara hukum di Indonesia. Pasal 18 Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE) menegaskan bahwa transaksi elektronik mengikat para pihak apabila terdapat kesepakatan. Selain itu, Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik mewajibkan penyedia layanan untuk memberikan kesempatan kepada pengguna membaca dan memahami syarat serta ketentuan perjanjian.

Dengan demikian, secara legal formal, kesepakatan dalam clickwrap agreement tetap sah, selama penyedia layanan memberikan akses yang cukup kepada pengguna untuk memahami isi kontrak.

Dari sudut pandang hukum bisnis, hukum tidak hanya bertujuan menciptakan kepastian hukum, tetapi juga menjamin keseimbangan dan keadilan dalam hubungan kontraktual. Dalam hal ini, clickwrap agreement sering kali menciptakan ketimpangan posisi tawar, karena pengguna berada pada posisi yang lebih lemah dibandingkan penyedia layanan. Oleh karena itu, asas kebebasan berkontrak di era digital perlu ditafsirkan secara proporsional, tidak hanya menekankan kebebasan formal, tetapi juga perlindungan terhadap pihak yang lemah agar tidak dirugikan oleh kontrak sepihak.

Pandangan ini sejalan dengan doktrin “socialization of contract law”, yang menekankan pentingnya nilai keadilan sosial dan keseimbangan dalam kontrak modern.

Pada dasarnya, clickwrap agreement sah secara hukum karena memenuhi unsur kesepakatan dan asas kebebasan berkontrak menurut KUH Perdata dan UU ITE. Namun secara substansial, asas kebebasan berkontrak menjadi terbatas karena pengguna tidak memiliki kebebasan bernegosiasi. Oleh karena itu, penerapan prinsip keadilan kontraktual menjadi penting untuk menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan perlindungan terhadap pihak yang lemah di era digital.

Daftar Pustaka
– Nindyo Pramono. (2020). Hukum Bisnis (BMP EKMA4316). Universitas Terbuka.
– Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), khususnya Pasal 1320, 1321, dan 1338.
– Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 jo. Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik.
– Peraturan Pemerintah Nomor 71 Tahun 2019 tentang Penyelenggaraan Sistem dan Transaksi Elektronik.
– Jurnal Kolaboratif Sains, Vol. 8 No. 9 (2020): “Keabsahan Perjanjian Digital Berbasis Klik (Clickwrap Agreement) dalam Perspektif Hukum Perdata Indonesia.”
https://jurnal.unismuhpalu.ac.id/index.php/JKS/article/view/8668

Karya: Andi Hendra

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Komentar

Baca Juga: