Menakar Sinergi KPK, Polri, dan Kejaksaan Tantangan Penegakan Hukum Korupsi di Indonesia

BuletinNews.com – Pemberantasan tindak pidana korupsi di Indonesia menjadi fokus utama negara hukum modern. Upaya ini dijalankan oleh tiga lembaga utama: Kepolisian Republik Indonesia (Polri), Kejaksaan Republik Indonesia, dan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ketiganya memiliki dasar hukum yang jelas, yaitu UU No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian, UU No. 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan, serta UU No. 30 Tahun 2002 jo. UU No. 19 Tahun 2019 tentang KPK.

Menurut Nandang Alamsah Deliarnoor (2021) dalam Sistem Hukum Indonesia, keberadaan lembaga-lembaga tersebut seharusnya dipahami dalam kerangka sistem peradilan pidana terpadu (integrated criminal justice system). Tujuannya adalah menciptakan koordinasi dan efektivitas agar hukum dapat ditegakkan secara adil. Namun, pertanyaannya: apakah sistem multi-lembaga ini benar-benar efektif, atau justru menciptakan tumpang tindih kewenangan?

Polri memiliki kewenangan penyelidikan dan penyidikan awal terhadap semua tindak pidana, termasuk korupsi. Kejaksaan melalui Bidang Pidsus berwenang menyidik dan menuntut perkara korupsi tertentu, sedangkan KPK dibentuk untuk menangani kasus besar dengan kewenangan luar biasa seperti penyadapan, blokir rekening, hingga pengambilalihan perkara (take over).

KPK sering dijuluki “superbody” karena berperan sebagai koordinator, supervisor, sekaligus pelaksana penegakan hukum. Dalam kerangka hukum, ini menunjukkan kekuatan luar biasa KPK, tetapi juga menimbulkan potensi gesekan dengan lembaga lain.

Eddy (2021) menjelaskan bahwa sistem peradilan pidana terpadu bertujuan menjaga keseragaman hukum, mencegah duplikasi, dan menjamin efisiensi penegakan hukum. Namun, dalam praktiknya, koordinasi antara Polri, Kejaksaan, dan KPK sering kali tersendat karena ego sektoral dan perbedaan prioritas penanganan kasus.

Pujiyono (2025) menilai pembentukan KPK bersama lembaga lain merupakan kebijakan hukum nasional yang bertujuan memperkuat check and balance. Namun tanpa mekanisme koordinasi yang jelas, sistem ini dapat menciptakan fragmentasi kelembagaan dan mengurangi kepercayaan publik.

Diperlukan reformasi kelembagaan agar sistem multi-lembaga ini benar-benar bekerja secara terpadu. Salah satu langkah konkret adalah membangun joint investigation protocol dan single data system agar penyelidikan dan penyidikan tidak tumpang tindih. Selain itu, fungsi KPK perlu difokuskan pada grand corruption, sementara Polri dan Kejaksaan menangani korupsi tingkat daerah.

Sejalan dengan pandangan Deliarnoor (2021), sistem hukum nasional harus memiliki substansi yang konsisten, struktur yang sinergis, dan budaya hukum yang menjunjung integritas. Hanya dengan sinergi itulah sistem peradilan pidana terpadu dapat berjalan optimal, menjaga asas kepastian hukum dan keadilan.

Sistem multi-lembaga penegakan hukum korupsi di Indonesia merupakan strategi lex specialis yang sah secara normatif. Namun, efektivitasnya bergantung pada koordinasi dan integrasi antar lembaga. Tanpa mekanisme kerja sama yang kuat, sistem ini berisiko menimbulkan tumpang tindih kewenangan dan menurunkan efektivitas pemberantasan korupsi.

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Komentar