
BuletinNews.com – Dalam era modern, industri kecantikan berkembang pesat seiring meningkatnya minat masyarakat terhadap produk perawatan kulit. Namun, di balik kemajuan tersebut, muncul berbagai persoalan hukum akibat beredarnya produk tanpa izin edar dari Badan Pengawas Obat dan Makanan (BPOM). Produk ilegal tidak hanya melanggar ketentuan administratif, tetapi juga dapat menimbulkan dampak serius terhadap kesehatan konsumen.
Kasus Rani, seorang pengusaha skincare yang memasarkan produknya tanpa izin BPOM, menjadi contoh nyata bagaimana pelanggaran tersebut menimbulkan kerugian bagi konsumen dan dapat berujung pada tindakan hukum perdata.
Sistem hukum Indonesia menjamin perlindungan bagi setiap warga negara yang hak keperdataannya dilanggar. Dalam konteks ini, gugatan perdata berperan sebagai sarana hukum yang memungkinkan pihak yang dirugikan menuntut haknya melalui pengadilan.
Sebagaimana dijelaskan oleh Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, gugatan merupakan tindakan hukum yang bertujuan memperoleh perlindungan hak dari pengadilan untuk mencegah tindakan eigenrichting atau main hakim sendiri. Dengan demikian, pengajuan gugatan merupakan langkah hukum yang sah, rasional, dan sesuai dengan prinsip rule of law.
Langkah-Langkah Hukum Pengajuan Gugatan. Berdasarkan Herziene Indonesisch Reglement (HIR), khususnya Pasal 118–136, proses pengajuan gugatan perdata meliputi enam tahapan utama:
- Menentukan Pengadilan yang Berwenang. Berdasarkan Pasal 118 ayat (1) HIR, gugatan harus diajukan di Pengadilan Negeri tempat tinggal tergugat (actor sequitur forum rei). Karena Rani berdomisili di Surabaya, maka para konsumen dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Negeri Surabaya.
- Menyusun Surat Gugatan Sesuai Pasal 8 Nomor 3 Rv, surat gugatan wajib memuat identitas para pihak, uraian fakta hukum (posita), dan tuntutan (petitum). Surat ini ditandatangani di atas materai sebagai bukti sah tindakan hukum.
- Mendaftarkan Gugatan ke Pengadilan Setelah diserahkan, penggugat membayar panjar biaya perkara dan panitera mencatat gugatan ke dalam register perkara resmi.
- Pemanggilan Para Pihak dilakukan oleh juru sita berdasarkan Pasal 390 Rv, guna menjamin asas audi et alteram partem, yaitu hak kedua belah pihak untuk didengar dan membela diri.
- Tahap Persidangan dan Pembuktian. Berdasarkan Pasal 1866 KUHPerdata, alat bukti yang sah meliputi keterangan saksi, surat, pengakuan, dan petunjuk. Konsumen dapat menunjukkan bukti pembelian, hasil uji laboratorium, dan keterangan ahli BPOM sebagai dasar gugatan.
- Putusan Hakim (Vonis). Setelah melalui proses pembuktian, hakim menjatuhkan putusan yang dapat bersifat declaratoir, constitutief, atau condemnatoir. Dalam kasus Rani, putusan kemungkinan bersifat condemnatoir karena menuntut pelaku usaha membayar ganti rugi kepada konsumen.
Jenis Gugatan yang Dapat Diajukan Konsumen. Dalam hukum perdata Indonesia, terdapat dua jenis gugatan utama yang relevan dalam kasus Rani, yakni gugatan perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) dan gugatan perwakilan kelompok (class action).
1. Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (PMH). Berdasarkan pasal 1365 KUHPerdata menyatakan, tiap perbuatan melanggar hukum yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menimbulkan kerugian itu untuk menggantinya.
Rani menjual produk skincare tanpa izin edar dan mengandung bahan berbahaya. Hal ini melanggar Pasal 8 ayat (1) huruf a dan e Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (UUPK), yang melarang pelaku usaha memperdagangkan barang yang tidak memenuhi standar keamanan dan tidak memberikan informasi benar.
Selain itu, perbuatannya juga melanggar Pasal 196 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, yang mengancam sanksi pidana terhadap pelaku usaha yang mengedarkan produk kesehatan tanpa izin BPOM. Dengan demikian, konsumen memiliki dasar kuat untuk menuntut ganti rugi melalui gugatan PMH.
2. Gugatan Perwakilan Kelompok (Class Action). Berdasarkan Pasal 46 ayat (1) UUPK dan Peraturan Mahkamah Agung (PERMA) Nomor 1 Tahun 2022, mekanisme class action dapat ditempuh apabila banyak konsumen mengalami kerugian yang sama akibat perbuatan pelaku usaha.
Tujuan utama dari mekanisme ini adalah menciptakan efisiensi peradilan (judicial economy), mencegah perbedaan putusan antarperkara, serta memperluas akses terhadap keadilan bagi masyarakat (access to justice). Karena kasus Rani melibatkan banyak korban, gugatan perwakilan kelompok merupakan mekanisme hukum yang paling efektif.
Langkah hukum terhadap pelaku usaha seperti Rani menegaskan bahwa setiap bentuk pelanggaran terhadap hak konsumen dapat ditindak melalui gugatan perdata. Prosedur ini diatur secara jelas dalam Pasal 118–136 HIR dan didukung teori hukum acara perdata yang dikemukakan oleh H.R. Benny Riyanto.
Dua jenis gugatan yang dapat diajukan adalah:
- Gugatan Perbuatan Melawan Hukum (Pasal 1365 KUHPerdata), untuk menuntut ganti rugi akibat pelanggaran terhadap hak dan keselamatan konsumen.
- Gugatan Perwakilan Kelompok (Pasal 46 ayat (1) UUPK dan PERMA Nomor 1 Tahun 2022), apabila kerugian dialami secara kolektif oleh sejumlah konsumen.
Melalui mekanisme ini, hukum tidak hanya berfungsi sebagai alat pemulihan hak, tetapi juga sebagai instrumen pengawasan sosial terhadap pelaku usaha agar mematuhi ketentuan hukum dan etika bisnis. Penerapan prinsip legalitas, keadilan, dan tanggung jawab menjadi pilar utama perlindungan konsumen dalam sistem hukum nasional.
Sumber Referensi:
– Benny Riyanto, H.R. (2020). Hukum Acara Perdata (BMP HKUM4405). Universitas Terbuka.
– Sudikno Mertokusumo. (2009). Hukum Acara Perdata Indonesia. Liberty, Yogyakarta.
– Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen.
– Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan.
– Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2022 tentang Gugatan Perwakilan Kelompok.
– Herziene Indonesisch Reglement (HIR).
– Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv).
Karya: A. Hendra











Komentar