
BuletinNews.com – Upaya pemberantasan tindak pidana korupsi (Tipikor) dan tindak pidana pencucian uang (TPPU) kembali menegaskan pentingnya strategi penegakan hukum yang berorientasi pada pemulihan aset negara. Mengingat korupsi merupakan predicate crime utama dalam rezim TPPU sebagaimana diatur dalam Pasal 2 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010, kedua instrumen hukum ini dinilai tidak dapat dipisahkan dalam proses peradilan modern.
Para ahli menegaskan bahwa pemberantasan korupsi tidak hanya bergantung pada pembuktian tindak pidana pokok, tetapi juga pada kemampuan negara menelusuri, membekukan, menyita, hingga merampas aset hasil kejahatan. Pendekatan penegakan hukum berbasis “maksimalisasi” dan “profit–benefit orientation” kini dianggap sebagai standar baru yang menempatkan pemulihan kerugian negara sebagai ukuran utama efektivitas penegakan hukum.
Instrumen Tipikor dan TPPU memiliki karakter berbeda, namun saling melengkapi. Tipikor berfokus pada pembuktian mens rea dan perbuatan melawan hukum yang merugikan keuangan negara. Melalui Pasal 18 Undang-Undang Tipikor, negara dapat menuntut pidana tambahan berupa uang pengganti dan perampasan aset. Namun, kewenangan tersebut terbatas pada aset yang terhubung langsung dengan tindak pidana pokok.
Sebaliknya, Undang-Undang TPPU menawarkan jangkauan yang lebih luas. Pasal 69 memungkinkan pelacakan aset tanpa harus membuktikan terlebih dahulu tindak pidana asal, sementara Pasal 77–78 membuka ruang pembuktian terbalik. Dengan objek pembuktian pada aliran dana dan transformasi harta, instrumen TPPU memungkinkan penindakan terhadap illicit enrichment yang tidak dapat dijelaskan asal-usulnya.
Pakar hukum pidana ekonomi, Pujiyono (2021), menegaskan bahwa orientasi pemiskinan koruptor (corruptor impoverishment) merupakan kunci pemberantasan korupsi modern. Senada dengan itu, Eddy (2021) menilai dakwaan kumulatif sebagai alat strategis untuk memperkuat pembuktian dan memperluas ruang perampasan aset.
Melalui Pasal 143 ayat (2) KUHAP, jaksa dapat menggabungkan pasal Tipikor dan TPPU secara bersamaan. Dakwaan kumulatif memungkinkan proses pembuktian dilakukan paralel, sekaligus menutup ruang celah apabila pembuktian tindak pidana pokok menghadapi hambatan. Karena itu, model dakwaan ini dinilai paling efektif dalam memastikan pemulihan aset secara maksimal.
Selain pemilihan dakwaan, penyusunan surat tuntutan juga berperan penting. Tuntutan ideal mencakup pidana pokok Tipikor–TPPU, pidana tambahan berupa uang pengganti, perampasan aset sesuai UU Tipikor dan TPPU, hingga mekanisme non-conviction based forfeiture (NCB) jika aset telah dialihkan. Orientasi kemanfaatan sebagaimana ditegaskan Nandang Alamsah Deliarnoor (2021) menempatkan agresivitas terhadap aset sebagai strategi utama memberi efek jera sekaligus menjamin keuntungan maksimal bagi negara.
Secara keseluruhan, penggunaan dakwaan kumulatif dan penyusunan tuntutan berorientasi pemulihan aset menjadi strategi yang paling tepat dalam perkara Tipikor–TPPU. Pendekatan ini tidak hanya sejalan dengan prinsip Stolen Asset Recovery Initiative (StAR) dan UNCAC, tetapi juga memastikan bahwa tujuan utama pemidanaan tercapai: menghilangkan keuntungan ekonomi pelaku dan memaksimalkan kerugian negara yang dipulihkan.
Artikel Hukum Karya Andi Hendra











Komentar