Nilai Etika Profesi Hakim dalam Perspektif Filsafat Hukum dan Tantangan Penegakan Moral

Penguatan kode etik dan pengawasan:

Komisi Yudisial perlu diberi kewenangan lebih besar untuk melakukan evaluasi moral hakim secara berkala.

Budaya hukum berbasis moral: Penegakan hukum harus dibarengi dengan pembangunan budaya hukum yang berbasis kejujuran, tanggung jawab, dan kemanusiaan.

Sebutan hakim sebagai officium nobile mengandung beban moral yang tinggi. Ketika predikat mulia itu tidak sejalan dengan perilaku nyata para hakim, maka bukan hanya hukum yang hancur, tetapi juga fondasi moral bangsa. Sejalan dengan pepatah quid leges sine moribus, hukum yang dilepaskan dari nilai moral akan kehilangan makna, dan hakim yang korup adalah pengkhianat atas misi ilahi dari profesi hukum itu sendiri. Maka, revitalisasi etika profesi dan pemaknaan filosofis terhadap tugas hakim menjadi prasyarat mutlak bagi pembenahan sistem hukum Indonesia secara keseluruhan.

Tanggung Jawab Moral Ideal bagi Profesi Hakim

Dalam khazanah filsafat hukum, hukum dan moral merupakan dua entitas yang tidak bisa dipisahkan. Hal ini sejalan dengan pepatah Romawi kuno quid leges sine moribus?—“Apa arti hukum tanpa moral?”. Filsuf-filsuf hukum klasik seperti Cicero dan Thomas Aquinas mengajarkan bahwa hukum yang baik adalah hukum yang mengakar pada nilai-nilai moral. Bahkan menurut Aquinas, hukum positif yang bertentangan dengan moral (natural law) tidak layak disebut hukum (lex injusta non est lex).

Hal ini juga terlihat dalam sistem hukum Jepang, yang menjadikan moralitas sebagai bagian integral dari struktur hukum. Di Jepang, sebagaimana dikutip dalam Buku Materi Filsafat Hukum dan Etika Profesi, dikenal adagium bahwa hukum adalah moral (law is morality), yang berarti setiap penegakan hukum harus selalu mempertimbangkan nilai-nilai moral sebagai landasannya.

Namun, dalam konteks Indonesia, fakta empirik menunjukkan adanya penyimpangan antara nilai moral dan praktik penegakan hukum, yang terlihat dari banyaknya hakim yang tertangkap oleh KPK karena kasus suap, gratifikasi, dan konflik kepentingan. Ini merupakan crisis of integrity dalam profesi hukum yang sangat serius, mengingat hakim merupakan aktor utama dalam upaya mewujudkan keadilan.

Tanggung jawab moral seorang hakim tidak hanya kepada undang-undang dan institusi peradilan, tetapi kepada kemanusiaan dan hati nurani. Dalam kerangka etika deontologis (Kantian), hakim wajib bertindak berdasarkan prinsip yang bisa dijadikan hukum universal. Artinya, hakim harus bersikap adil karena itu adalah kewajiban moral, bukan semata karena itu diperintahkan hukum.

Dari sudut pandang filsafat hukum naturalis, hukum harus merefleksikan nilai-nilai moral universal. Sehingga, putusan hukum idealnya juga harus berdasar pada keadilan substantif, bukan hanya prosedur formal. Ketika seorang hakim memutus perkara tanpa mempertimbangkan moralitas, maka ia sekadar menjalankan legalisme kosong (legal formalism) yang tidak berpihak pada keadilan yang hakiki.

Kasus pembebasan terdakwa pemerkosaan di PN Cibinong menjadi contoh nyata dari lemahnya tanggung jawab moral. Dalam hal ini, hakim seharusnya tidak hanya melihat legal proof, tetapi juga mempertimbangkan moral outrage dan social justice.

Oleh karena itu, tanggung jawab moral bagi hakim idealnya mencakup beberapa aspek sebagai berikut:
a. Keadilan sebagai Nilai Tertinggi
Seorang hakim harus menjadikan keadilan sebagai nilai tertinggi yang menjadi orientasi putusannya. Keadilan di sini bukan hanya legal justice (berdasarkan hukum tertulis), tetapi juga moral justice (berdasarkan nurani dan nilai universal). Hal ini relevan dengan pemikiran Radbruch, yang menyatakan bahwa bila hukum bertentangan dengan keadilan yang ekstrem, maka hukum tersebut harus dikesampingkan.
b. Independensi dan Kebebasan Nurani
UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman, khususnya Pasal 5 ayat (1), menyatakan bahwa “hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup di masyarakat.” Ini menunjukkan bahwa hakim tidak boleh hanya terpaku pada teks hukum (positivisme hukum), tetapi juga harus menggunakan nurani dan kearifan moral dalam membuat keputusan.
Hakim yang baik akan menjaga independensinya dari segala bentuk pengaruh eksternal—baik tekanan politik, kekuasaan ekonomi, maupun relasi personal. Jika keputusan hakim didasarkan atas pertimbangan-pertimbangan non-hukum (misalnya karena menerima suap), maka itu merupakan bentuk pengkhianatan terhadap tanggung jawab moralnya.
c. Transparansi dan Akuntabilitas Moral
Tanggung jawab moral juga berarti bahwa hakim harus bertanggung jawab secara etis dan moral atas keputusannya kepada publik. Ini menuntut transparansi dan argumentasi hukum yang logis dan adil, sehingga masyarakat bisa menilai bahwa keputusan tersebut bukan hasil intervensi atau kepentingan terselubung.
Sebagaimana dijelaskan dalam Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH), hakim wajib menjaga kehormatan, keluhuran martabat, dan perilaku pribadi dalam kehidupan sehari-hari. Ini menegaskan bahwa moralitas tidak hanya harus hadir di ruang sidang, tapi juga dalam kehidupan pribadi seorang hakim.
d. Pendidikan Etika Berkelanjutan
Tanggung jawab moral bukanlah sesuatu yang lahir secara otomatis. Maka perlu ada pendidikan dan pelatihan etika profesi yang terus-menerus bagi para hakim. Sistem rekrutmen dan pembinaan hakim juga harus berbasis meritokrasi dan integritas moral, bukan hanya kompetensi hukum teknis.

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Komentar