BuletinNews.com – Dalam sistem hukum Indonesia, hukum acara pidana berperan penting sebagai pedoman dalam penerapan hukum pidana materiil terhadap suatu peristiwa konkret. Istilah ini dalam bahasa Belanda dikenal sebagai strafvordering, yang menunjukkan bahwa hukum acara pidana bersifat operasional dan mengatur bagaimana hukum pidana dijalankan secara nyata. Melalui mekanisme ini, negara menegakkan keadilan dengan tetap menjamin perlindungan terhadap hak asasi manusia (HAM).
Hukum Acara Pidana Sebagai Instrumen Penegakan Keadilan
Menurut Satochid Kertanegara, hukum acara pidana merupakan hukum pidana dalam arti konkret (in concreto), karena berisi tata cara membawa hukum pidana dari konsep abstrak (in abstracto) menjadi penerapan nyata terhadap pelaku tindak pidana. Fungsinya bukan hanya sebagai alat negara untuk menghukum, tetapi juga untuk menegakkan kebenaran materiil melalui prosedur yang adil dan transparan.
Proses ini dijalankan melalui beberapa tahap penting, yaitu penyelidikan, penyidikan, penuntutan, hingga pemeriksaan di pengadilan, sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP) atau Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981.
Tahapan Penyelidikan dan Penyidikan
1. Penyelidikan
Berdasarkan Pasal 1 angka 5 KUHAP, penyelidikan bertujuan menemukan peristiwa yang diduga sebagai tindak pidana untuk menentukan dapat tidaknya dilakukan penyidikan. Kewenangan ini diberikan kepada penyelidik, yaitu pejabat polisi negara sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 4 KUHAP. Tahapan ini bersifat awal dan menentukan arah proses hukum berikutnya.
2. Penyidikan
Menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP, penyidikan merupakan serangkaian tindakan untuk mencari dan mengumpulkan bukti guna membuat terang tindak pidana serta menemukan tersangkanya. Tahap ini lebih teknis dan konkret, melibatkan tindakan seperti pemeriksaan saksi, penggeledahan, dan penyitaan sesuai ketentuan hukum.
Kedua tahapan ini menjadi fondasi penting dalam proses pembuktian pidana, dan dijalankan dengan prinsip kehati-hatian agar tidak melanggar hak-hak warga negara.
Penetapan Tersangka dan Bukti Permulaan yang Cukup
Penetapan seseorang sebagai tersangka harus didasarkan pada bukti permulaan yang cukup, sebagaimana diatur dalam Pasal 1 angka 14 KUHAP dan diperkuat oleh Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014. Minimal harus ada dua alat bukti sah menurut Pasal 184 KUHAP, yaitu keterangan saksi, keterangan ahli, surat, petunjuk, atau keterangan terdakwa.
Ketentuan ini penting untuk:
Menjaga asas praduga tak bersalah (Pasal 8 ayat 1 UU No. 48 Tahun 2009).
Mencegah kesewenang-wenangan penyidik, sebagaimana dijelaskan oleh Benny Riyanto dalam modul FSIH4203 Hukum Acara Pidana.
Menjamin perlindungan HAM sesuai Pasal 28D ayat (1) UUD 1945.
Dengan demikian, bukti permulaan yang cukup menjadi batas objektif agar aparat penegak hukum bertindak sesuai prosedur, bukan berdasarkan dugaan semata.
Hukum acara pidana memiliki posisi strategis dalam sistem hukum Indonesia sebagai pengawal keadilan dan perlindungan HAM. Melalui tahapan penyelidikan dan penyidikan yang diatur dalam KUHAP, negara berupaya menemukan kebenaran materiil tanpa mengorbankan hak individu.
Penetapan tersangka pun harus berlandaskan bukti permulaan yang cukup, demi menjamin prinsip praduga tak bersalah dan mencegah penyalahgunaan kewenangan. Dengan demikian, penegakan hukum di Indonesia dapat berjalan adil, transparan, dan berkeadaban.
Daftar Pustaka
– Eddy, O.S. (2024). Hukum Acara Pidana (HKUM4406). Universitas Terbuka.
– Eddy, O.S. (2021). Hukum Pidana (HKUM420301). Universitas Terbuka.
– Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
– Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
– Putusan Mahkamah Konstitusi No. 21/PUU-XII/2014.
Karya: A. Hendra
Komentar