Legalitas Penggeledahan Rumah oleh Penyidik dalam Perspektif KUHAP dan HAM

BuletinNews.com – Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, penyidikan merupakan tahap penting untuk menemukan kebenaran materiil atas suatu peristiwa pidana. Pada tahap ini, penyidik memiliki kewenangan melakukan tindakan hukum termasuk tindakan paksa seperti penangkapan, penahanan, penyitaan, dan penggeledahan. Tindakan tersebut memiliki konsekuensi hukum besar karena menyentuh hak-hak dasar warga negara, terutama hak atas kebebasan pribadi dan perlindungan terhadap ruang privat.

Menurut Eddy O.S. Hiariej (2021) dalam Hukum Acara Pidana, pelaksanaan tindakan paksa harus berdasarkan prinsip legalitas, proporsionalitas, dan penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM). Karena itu, penggeledahan rumah tidak boleh dilakukan secara sewenang-wenang, melainkan harus melalui mekanisme hukum yang ketat dengan pengawasan peradilan. Hal ini memastikan agar kepentingan penyidikan tetap sejalan dengan prinsip negara hukum dan perlindungan hak konstitusional warga negara.

Kewenangan penyidik untuk melakukan penggeledahan diatur dalam Pasal 33 ayat (1) KUHAP, yang menegaskan bahwa untuk kepentingan penyidikan, penyidik dapat melakukan penggeledahan rumah dengan izin Ketua Pengadilan Negeri setempat. Ketentuan ini menunjukkan bahwa penggeledahan rumah hanya sah jika memperoleh izin dari Ketua PN, sebagai bentuk kontrol yudisial terhadap kekuasaan eksekutif.

Menurut Hiariej (2021), izin dari Ketua PN memiliki tiga fungsi utama:

  1. Perlindungan hak asasi manusia, khususnya hak atas privasi dan rumah kediaman sebagaimana dijamin dalam Pasal 28G ayat (1) UUD 1945.
  2. Pengawasan horizontal antar lembaga (check and balance) antara penyidik (eksekutif) dan pengadilan (yudikatif).
  3. Menjamin keabsahan alat bukti, karena barang bukti yang diperoleh tanpa izin pengadilan dapat dianggap tidak sah secara hukum.


Prinsip ini ditegaskan dalam Buku II Pedoman Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus Mahkamah Agung (2007), yang menyatakan bahwa penggeledahan tanpa izin dapat mengakibatkan batalnya alat bukti dalam proses peradilan.

Meskipun izin Ketua PN merupakan syarat utama, Pasal 34 KUHAP memberikan pengecualian dalam keadaan mendesak, yakni ketika tidak memungkinkan memperoleh izin terlebih dahulu. Dalam situasi demikian, penyidik dapat melakukan penggeledahan tanpa izin, tetapi wajib segera melaporkan tindakan tersebut kepada Ketua PN untuk memperoleh persetujuan tertulis.
Ketentuan ini menyeimbangkan antara efisiensi penegakan hukum dan perlindungan hak-hak warga negara.

Penelitian dalam Lex Crimen Journal (2018) menegaskan bahwa mekanisme izin pengadilan adalah bentuk pengawasan yudisial (judicial control) untuk mencegah tindakan sewenang-wenang oleh penyidik. Tanpa izin Ketua PN, penggeledahan dapat dikategorikan sebagai tindakan melanggar hukum, meskipun dilakukan atas nama kepentingan penyidikan.

Pasal 35 KUHAP membatasi ruang-ruang tertentu yang tidak boleh digeledah oleh penyidik, yaitu:

  1. Tempat berlangsungnya sidang MPR, DPR, atau DPRD.
  2. Tempat ibadah atau upacara keagamaan yang sedang berlangsung.
  3. Ruang sidang pengadilan yang sedang digunakan.

Larangan ini berfungsi melindungi independensi lembaga negara dan kebebasan beragama. Menurut Halu Oleo Law Review (2022), pembatasan ini merupakan bentuk implementasi prinsip human rights protection in criminal procedure, yaitu menempatkan manusia sebagai subjek hukum yang hak-haknya harus tetap dihormati meskipun sedang berhadapan dengan hukum.

Dari sisi etika hukum, larangan ini juga menunjukkan bahwa penegakan hukum harus dilakukan dengan kehati-hatian dan penghormatan terhadap nilai kemanusiaan. Penggeledahan di tempat ibadah atau lembaga negara tanpa dasar hukum tidak hanya melanggar hukum, tetapi juga menurunkan kepercayaan publik terhadap aparat penegak hukum.

Meskipun KUHAP memberikan kewenangan luas kepada penyidik, batasan hukum seperti izin Ketua PN dan pembatasan ruang tertentu menjadi wujud nyata dari prinsip due process of law. Negara memang berhak menegakkan hukum, tetapi kewenangan itu harus dijalankan dalam koridor supremasi hukum, etika kelembagaan, dan penghormatan terhadap martabat manusia.

Dengan demikian, penggeledahan rumah oleh penyidik bukan semata tindakan teknis, tetapi juga merupakan ujian moral dan konstitusional bagi aparat penegak hukum dalam menjunjung tinggi prinsip keadilan dan perlindungan HAM.

Sumber Referensi:
– Hiariej, Eddy O.S. (2021). Hukum Acara Pidana (BMP HKU4406). Universitas Terbuka, Jakarta.
– Republik Indonesia. (1981). Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP).
– Mahkamah Agung Republik Indonesia. (2007). Buku II Pedoman Teknis Administrasi dan Teknis Peradilan Pidana Umum dan Pidana Khusus.
– Lex Crimen Journal. (2018). “Penggeledahan: Tindakan Penyidik dan Syaratnya.” Universitas Sam Ratulangi.
– Halu Oleo Law Review. (2022). “Human Rights Protection in Criminal Procedure.” Universitas Halu Oleo.

Karya: Andi Hendra

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Komentar