Keseimbangan Retribusi dan Restorasi dalam Sistem Pemidanaan Tipikor

BuletinNews.com – Tindak pidana korupsi merupakan kejahatan luar biasa (extraordinary crime) yang berdampak luas terhadap kehidupan bangsa. Tulisan ini membahas apakah sistem sanksi pidana dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) menganut teori pemidanaan retributif atau tujuan gabungan (verenigingstheorie), serta meninjau relevansi pidana mati dalam Pasal 2 UU Tipikor terhadap cita hukum negara yang berlandaskan Pancasila. Berdasarkan analisis normatif dan literatur hukum, disimpulkan bahwa sistem sanksi dalam UU Tipikor menganut teori gabungan, yakni memadukan aspek pembalasan, pencegahan, dan pemulihan. Adapun pidana mati bersifat luar biasa dan harus diterapkan secara hati-hati dengan memperhatikan nilai kemanusiaan dan keadilan sosial dalam Pancasila.

Korupsi merupakan bentuk kejahatan yang menggerogoti sendi moral dan struktur negara. Dampaknya tidak hanya menimbulkan kerugian finansial negara, tetapi juga mengikis kepercayaan publik terhadap sistem hukum dan pemerintahan. Sebagai extraordinary crime, penanggulangan korupsi memerlukan instrumen hukum yang kuat, termasuk dalam perumusan sanksi pidana. Namun, masih menjadi perdebatan apakah pemidanaan dalam UU Tipikor lebih menekankan pada pembalasan (retributif) atau tujuan gabungan yang bersifat korektif dan preventif.

Penelitian ini menggunakan metode yuridis normatif dengan pendekatan perundang-undangan dan konseptual. Data diperoleh dari literatur hukum, undang-undang, dan buku ajar Universitas Terbuka, seperti karya Eddy O.S. Hiariej, Pujiyono, dan Nandang Alamsah Deliarnoor, serta jurnal hukum nasional. Analisis dilakukan secara deskriptif-kualitatif.

1. Tujuan Pemidanaan dalam UU Tipikor

UU Tipikor tidak semata menganut sistem pemidanaan retributif, tetapi menekankan keseimbangan antara kepentingan negara dan keadilan bagi pelaku. Hal ini sejalan dengan teori pemidanaan gabungan (verenigingstheorie) yang memadukan:

– Aspek retributif: pelaku dijatuhi hukuman sebagai bentuk pembalasan moral atas perbuatannya.

– Aspek preventif dan korektif: mencegah kejahatan serupa, memulihkan kerugian negara, dan memperbaiki perilaku pelaku.

Menurut Eddy O.S. Hiariej (2020), pemidanaan dalam tindak pidana korupsi memiliki dua fungsi utama, yakni deterrence effect (pencegahan) dan restorative effect (pemulihan). Artinya, sanksi pidana tidak hanya menghukum, tetapi juga mengembalikan keseimbangan sosial yang terganggu akibat korupsi.

Sanksi pokok seperti pidana penjara, penjara seumur hidup, dan pidana mati menunjukkan aspek pembalasan. Sementara sanksi tambahan seperti perampasan aset, pembayaran uang pengganti, dan pencabutan hak politik mencerminkan aspek pemulihan dan perlindungan kepentingan publik. Dengan demikian, sistem pemidanaan dalam UU Tipikor berorientasi pada kemanfaatan sosial dan keadilan substantif.


2. Pidana Mati dalam Pasal 2 UU Tipikor dan Cita Hukum Pancasila

Pasal 2 ayat (2) UU Tipikor menyebutkan bahwa dalam keadaan tertentu, pelaku korupsi dapat dijatuhi pidana mati. “Keadaan tertentu” dimaksud meliputi situasi krisis ekonomi, bencana alam, atau penggunaan dana publik yang mengakibatkan penderitaan rakyat secara luas.

Menurut Pujiyono (2021), ketentuan pidana mati ini dimaksudkan sebagai bentuk perlindungan luar biasa terhadap bangsa, bukan sekadar pembalasan. Namun, pelaksanaannya harus selektif dan sejalan dengan prinsip hak asasi manusia sebagaimana dijamin dalam Pasal 28I UUD 1945 dan International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR) yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005.

Sementara Eddy O.S. Hiariej (2021) menilai bahwa pidana mati berpotensi bertentangan dengan sila kedua Pancasila, “Kemanusiaan yang adil dan beradab,” karena mengandung unsur pelanggaran terhadap hak hidup. Oleh karena itu, penerapan pidana mati sebaiknya ditempatkan sebagai extraordinary measure, bukan sebagai instrumen utama hukum pidana.

Nandang Alamsah Deliarnoor (2023) menekankan bahwa hukum Indonesia harus mencerminkan keseimbangan antara keadilan, kemanusiaan, dan kemaslahatan. Dengan demikian, cita hukum Pancasila menempatkan pidana mati sebagai opsi terakhir, yang harus dijalankan dengan prinsip keadilan substantif dan moral kemanusiaan.

Sistem sanksi pidana dalam UU Tipikor menganut teori pemidanaan gabungan, yang menyeimbangkan aspek pembalasan, pencegahan, dan pemulihan. Tujuannya bukan hanya menghukum pelaku, tetapi juga melindungi negara serta masyarakat dari dampak korupsi yang sistemik.

Pidana mati sebagaimana diatur dalam Pasal 2 UU Tipikor merupakan instrumen luar biasa yang hanya dapat diterapkan pada kondisi tertentu dengan memperhatikan prinsip kemanusiaan dan keadilan sosial sebagaimana tercermin dalam cita hukum Pancasila. Oleh karena itu, implementasi pidana mati harus bersifat proporsional, selektif, dan berlandaskan nilai moral bangsa.

Daftar Pustaka
– Pujiyono. (2021). Tindak Pidana Korupsi (BMP HKUM4310). Universitas Terbuka.
– Eddy O.S. Hiariej. (2021). Hukum Acara Pidana (BMP HKU4406). Universitas Terbuka.
– Eddy O.S. Hiariej. (2020). Hukum Pidana (BMP HKUM4203). Universitas Terbuka.
– Nandang Alamsah Deliarnoor. (2023). Sistem Hukum Indonesia (BMP ISIP4131). Universitas Terbuka.
– Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. – Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.
– Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2005 tentang Pengesahan ICCPR.
Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945.
– Jurnal Hukum Universitas Airlangga. (2022). Pendekatan Gabungan dalam Pemidanaan Tindak Pidana Korupsi di Indonesia.

Andi Hendra
Program Studi Ilmu Hukum – Universitas Terbuka

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Komentar