
BuletinNews.com – Pajak merupakan salah satu sumber utama pendapatan negara yang berfungsi untuk membiayai pembangunan nasional serta mewujudkan pemerataan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, efektivitas sistem perpajakan sangat bergantung pada tingkat kepatuhan Wajib Pajak (WP). Namun, realitas menunjukkan bahwa praktik penggelapan pajak masih sering terjadi dan menjadi tantangan serius bagi pemerintah Indonesia dalam meningkatkan rasio pajak (tax ratio).
Fenomena tersebut menempatkan konsultan pajak pada posisi yang dilematis. Di satu sisi, konsultan pajak memiliki tanggung jawab profesional untuk memberikan nasihat terbaik bagi kepentingan klien. Di sisi lain, konsultan juga memikul tanggung jawab moral dan hukum untuk memastikan bahwa setiap rekomendasi yang diberikan tidak melanggar ketentuan hukum maupun etika profesi. Posisi ganda ini menuntut konsultan pajak untuk menyeimbangkan antara kepentingan klien dan kepatuhan terhadap hukum serta nilai-nilai moral profesinya.
Menurut Febby Mutiara Nelson (2021) dalam Hukum Pidana Ekonomi, penggelapan pajak termasuk dalam kategori tindak pidana ekonomi karena bertujuan memperoleh keuntungan finansial dengan cara melawan hukum dan merugikan kepentingan negara. Kejahatan tersebut menimbulkan dampak sistemik terhadap perekonomian nasional karena mengurangi penerimaan negara dan menciptakan ketidakadilan sosial.
Dalam konteks hukum positif Indonesia, penggelapan pajak diatur dalam Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP). Tindakan penggelapan pajak atau penyampaian data palsu dalam Surat Pemberitahuan (SPT) termasuk ke dalam tindak pidana sebagaimana diatur dalam Pasal 38 hingga Pasal 41 serta Pasal 39A UU KUP. Ketentuan ini menegaskan adanya unsur kesengajaan (dolus) maupun kelalaian (culpa) yang dapat dikenai sanksi berupa pidana penjara dan/atau denda. Dengan demikian, konsultan pajak harus memahami batas yang tegas antara tax planning yang sah dan tax evasion yang melanggar hukum agar tidak terseret dalam pertanggungjawaban pidana.
Konsultan pajak memiliki peran strategis sebagai jembatan antara Wajib Pajak dan pemerintah. Berdasarkan Peraturan Menteri Keuangan Nomor 111/PMK.03/2014 tentang Konsultan Pajak, setiap konsultan pajak wajib melaksanakan tugas secara profesional, objektif, dan berintegritas, serta dilarang membantu Wajib Pajak melakukan tindakan yang bertentangan dengan hukum.
Menurut Eddy O.S. Hiariej (2021) dalam Hukum Pidana, profesionalisme dalam bidang hukum tidak dapat dipisahkan dari tanggung jawab moral. Setiap profesional hukum wajib bertindak berdasarkan asas lex et ratio, yaitu hukum yang rasional dan berkeadilan. Oleh karena itu, pemberian nasihat perpajakan yang bertujuan menipu negara merupakan pelanggaran terhadap asas keadilan dan dapat dikategorikan sebagai bentuk partisipasi dalam tindak pidana.
Konsultan pajak yang menjunjung tinggi etika profesi harus mampu membedakan secara tegas antara penghindaran pajak (tax avoidance) yang sah dengan penggelapan pajak (tax evasion) yang melanggar hukum. Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada niat dan tingkat kepatuhan terhadap hukum: tax avoidance dilakukan dengan memanfaatkan celah hukum yang sah, sedangkan tax evasion menggunakan cara-cara manipulatif yang bertentangan dengan ketentuan hukum pidana pajak.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) telah menyediakan mekanisme kepatuhan sukarela melalui fasilitas pembetulan SPT dan Program Pengungkapan Sukarela (PPS). Program ini memberikan kesempatan bagi Wajib Pajak untuk memperbaiki posisi perpajakannya tanpa sanksi berat apabila dilakukan sebelum proses pemeriksaan formal dimulai. Konsultan pajak yang beretika wajib mengarahkan kliennya untuk memanfaatkan program tersebut sebagai wujud tanggung jawab profesional dan moral.
Sebagai konsultan pajak, strategi yang dapat dilakukan untuk menyeimbangkan antara kepentingan klien dan kepatuhan hukum meliputi beberapa langkah berikut:
1. Memberikan pemahaman kepada klien bahwa kepatuhan pajak merupakan bentuk kontribusi terhadap pembangunan nasional, bukan semata beban finansial.
2. Dalam setiap perencanaan pajak, selalu mengacu pada regulasi yang berlaku, termasuk UU HPP dan PMK Nomor 111/PMK.03/2014.
3. Menolak setiap permintaan klien yang mengarah pada tindakan manipulatif atau pelanggaran hukum.
4. Menyusun analisis hukum yang komprehensif, memberikan alternatif solusi legal seperti pemanfaatan insentif fiskal atau tax allowance, serta mendokumentasikan seluruh rekomendasi agar memiliki kekuatan pembuktian jika terjadi sengketa pajak.
5. Jika ditemukan kewajiban pajak yang belum dipenuhi, konsultan wajib mengarahkan klien untuk melakukan pembetulan SPT atau mengikuti program PPS. Langkah ini merupakan bentuk tanggung jawab profesional guna menjaga kepatuhan hukum dan mencegah risiko pidana.
Dengan demikian, konsultan pajak tidak hanya berperan sebagai penasihat teknis, tetapi juga sebagai agen moral yang menjaga kepercayaan publik terhadap sistem perpajakan. Sikap profesional yang jujur dan transparan akan memperkuat tax morale, yaitu kesadaran sukarela Wajib Pajak untuk mematuhi hukum. Etika profesi, dalam hal ini, bukan hanya kewajiban individual, melainkan juga kontribusi penting terhadap stabilitas fiskal dan keadilan sosial nasional.
Berdasarkan uraian tersebut, dapat disimpulkan bahwa praktik profesi konsultan pajak harus senantiasa menyeimbangkan tanggung jawab profesional dan moral guna menjaga integritas sistem perpajakan nasional. Konsultan pajak tidak boleh hanya berorientasi pada keuntungan klien semata, melainkan harus mengedepankan nilai hukum, etika, dan keadilan sosial sebagai landasan profesionalisme.
Karya: Andi Hendra











Komentar