
BuletinNews.com – Kasus kebangkrutan PT Bintang Property yang diikuti dengan tuntutan kreditornya terhadap dua perusahaan saudara, yakni PT Bintang Sinar Motor dan PT Bintang Terang Finance, menghadirkan persoalan mendasar dalam hukum perusahaan Indonesia. Persoalan tersebut menyangkut bagaimana hukum memandang konsep kelompok perusahaan (corporate group), sejauh mana berlaku prinsip keterbatasan tanggung jawab (limited liability), serta dalam kondisi apa kreditor dapat menuntut perusahaan lain dalam satu grup untuk menanggung utang perusahaan yang pailit.
Artikel ini membahas isu tersebut dengan mengacu pada Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) dan berbagai doktrin hukum perusahaan modern.
1. Konsep Kelompok Perusahaan dalam Perspektif Hukum
Dalam sistem hukum Indonesia, setiap Perseroan Terbatas (PT) diakui sebagai badan hukum yang mandiri dan memiliki kepribadian hukum terpisah. Berdasarkan ketentuan UUPT No. 40 Tahun 2007, pemegang saham tidak bertanggung jawab atas kewajiban perseroan melebihi nilai saham yang dimilikinya. Dengan demikian, meskipun beberapa PT berada di bawah kepemilikan atau manajemen keluarga yang sama, secara hukum masing-masing tetap berdiri sebagai entitas independen.
Namun, praktik ekonomi modern menunjukkan bahwa perusahaan sering beroperasi dalam bentuk group of companies yang terdiri atas holding company, anak perusahaan, dan perusahaan saudara (sister companies). Dalam konteks ini, hubungan antarperusahaan biasanya mencakup keterkaitan modal, pengendalian manajemen, serta kebijakan bisnis yang terkoordinasi.
Dalam teori hukum perusahaan, dikenal tiga pendekatan untuk memahami hubungan semacam ini, yaitu:
– Single Economic Unit, yang memandang grup sebagai satu kesatuan ekonomi;
– Agency atau Alter Ego, di mana anak perusahaan bertindak sebagai perpanjangan tangan induk; dan
– Piercing the Corporate Veil, yaitu penyingkapan tabir korporasi bila bentuk badan hukum digunakan untuk menipu kreditur atau menghindari tanggung jawab hukum.
Dalam kasus Bintang Jaya Group, hubungan kepemilikan keluarga, pengendalian terpusat, dan kemungkinan adanya transaksi silang (cross-guarantee atau pinjaman antar afiliasi) dapat menjadi dasar hukum bagi kreditur untuk menilai bahwa perusahaan-perusahaan dalam grup tersebut beroperasi sebagai satu kesatuan ekonomi yang faktual, bukan entitas hukum yang sepenuhnya terpisah.
2. Dapatkah Kreditur Menuntut Perusahaan Saudara?
Secara umum, kreditur tidak dapat langsung menuntut perusahaan saudara hanya karena berada dalam satu grup. Prinsip separate legal entity tetap menjadi dasar hukum utama. Namun, dalam kondisi tertentu, pengadilan dapat menembus tabir korporasi (piercing the corporate veil) jika terbukti ada penyalahgunaan bentuk badan hukum.
Beberapa keadaan yang dapat membuka kemungkinan perluasan tanggung jawab, antara lain:
1. Pencampuran aset (commingling of assets) antara induk dan anak sehingga tidak dapat dibedakan;
2. Under-capitalization, yakni anak perusahaan sengaja dimodalkan sangat kecil sehingga tidak mampu memenuhi kewajiban kepada kreditur;
3. Penipuan atau penyalahgunaan badan hukum untuk menghindari utang (fraudulent conduct); dan
4. Dominasi total induk yang meniadakan kemandirian hukum anak perusahaan.
Yurisprudensi Indonesia telah mengenal pendekatan ini. Misalnya, Putusan Mahkamah Agung No. 1038 K/Pdt.Sus/2010, yang mengakui kemungkinan memperluas tanggung jawab induk atau afiliasi bila terdapat hubungan pengendalian yang erat dan penyalahgunaan bentuk korporasi.
Namun demikian, pembuktian menjadi aspek yang sangat krusial. Kreditur wajib menghadirkan bukti konkret seperti aliran dana, keputusan manajemen terpusat, jaminan silang, atau transaksi fiktif yang menunjukkan bahwa entitas anak hanya merupakan “alat” dari induknya. Tanpa bukti semacam itu, asas pemisahan badan hukum tetap berlaku secara mutlak.
Selain doktrin piercing veil, kreditor juga dapat menuntut berdasarkan:
– Perjanjian penjaminan (guarantee) antarperusahaan,
– Perbuatan melawan hukum (onrechtmatige daad) bila tindakan pengendali merugikan pihak lain, atau
– Tuntutan pidana jika ditemukan unsur penipuan atau penggelapan aset.
Dengan demikian, tanggung jawab PT Bintang Sinar Motor dan PT Bintang Terang Finance hanya dapat dibebankan apabila terdapat bukti kuat bahwa hubungan hukum dan ekonomi mereka dengan PT Bintang Property telah meniadakan batas otonomi korporasi.
3. Pengaturan Hubungan Antarperusahaan dalam UUPT No. 40 Tahun 2007
UUPT 2007 tidak mengatur secara khusus konsep kelompok usaha (corporate group) sebagai satu entitas hukum. Undang-undang ini hanya menegaskan prinsip kepribadian hukum terpisah dan pembatasan tanggung jawab pemegang saham. Akibatnya, hubungan antarperusahaan dalam satu grup lebih banyak diatur melalui kontrak komersial, anggaran dasar, atau peraturan pasar modal (bagi perusahaan publik).
Dengan demikian, tanggung jawab lintas entitas baru muncul bila:
– Terdapat perjanjian formal (misalnya akta jaminan atau pinjaman antar afiliasi),
– Terjadi penyalahgunaan bentuk badan hukum, atau
– Ada pengendalian yang berlebihan dari satu entitas terhadap entitas lain.
Pendekatan hukum Indonesia terhadap corporate group masih bersifat case by case, tergantung pada pembuktian hubungan dan perilaku korporasi dalam kasus konkret. Oleh karena itu, pencegahan penyalahgunaan bentuk badan hukum sangat penting dilakukan melalui pemisahan keuangan dan administrasi, dokumentasi transaksi antarperusahaan yang transparan, serta praktik tata kelola perusahaan (corporate governance) yang baik.
4. Kesimpulan dan Implikasi Praktis
1. Bagi kreditur:
Langkah hukum pertama tetap diarahkan kepada aset PT Bintang Property sebagai debitor utama. Apabila terdapat bukti pengendalian terpusat, pencampuran aset, atau jaminan silang, kreditur dapat mengajukan gugatan dengan dasar piercing the corporate veil atau perbuatan melawan hukum.
2. Bagi kelompok usaha (keluarga Bintang Santoso):
Perlu dilakukan pemisahan administratif, keuangan, dan manajerial secara jelas antar perusahaan. Transaksi antar afiliasi sebaiknya dituangkan dalam perjanjian tertulis untuk menghindari kesan penyalahgunaan badan hukum yang dapat menimbulkan pertanggungjawaban hukum bersama.
Dengan demikian, penerapan prinsip limited liability dalam UUPT tetap menjadi landasan utama, namun dapat dikesampingkan bila terbukti terjadi penyalahgunaan bentuk korporasi. Pemahaman dan penerapan prinsip ini sangat penting untuk menjaga keseimbangan antara perlindungan kreditur dan kepastian hukum bagi pelaku usaha di Indonesia.











Komentar