Analisis Bentuk Badan Usaha dan Prinsip Tanggung Jawab dalam Persekutuan Perdata

BuletinNews.com – Tiga sahabat mendirikan usaha kuliner berbasis daring dengan modal patungan tanpa badan hukum. Artikel ini membahas bentuk badan usaha tersebut, dasar hukumnya, serta prinsip tanggung jawab para pendiri menurut KUH Perdata.

Ali, Eldan, dan Andul telah bersahabat sejak duduk di bangku kuliah. Ketiganya menamatkan pendidikan Sarjana di Fakultas Hukum Universitas X pada tahun 2020. Pada masa itu, pandemi Covid-19 melanda Indonesia secara masif, menyebabkan peluang kerja semakin terbatas.

Melihat kondisi tersebut, mereka berinisiatif untuk membangun usaha di bidang food and beverage dengan konsep layanan pemesanan daring (online ordered). Usaha tersebut mereka dirikan berdasarkan perjanjian tertulis sederhana dan modal patungan, tanpa akta notaris atau pengesahan sebagai badan hukum.

Pemilihan Bentuk Badan Usaha dalam Perspektif Hukum

Dalam dunia bisnis, pemilihan bentuk badan usaha merupakan langkah strategis karena berpengaruh terhadap status hukum, tanggung jawab, serta perlindungan hukum bagi para pendirinya. Berdasarkan kasus ketiga sahabat di atas, usaha yang mereka dirikan dapat dikaji melalui perspektif hukum perusahaan dan Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Hukum perusahaan membedakan dua kategori bentuk badan usaha, yaitu:

1. Badan usaha berbadan hukum, seperti Perseroan Terbatas (PT), Koperasi, dan Yayasan.
2. Badan usaha tidak berbadan hukum, seperti Persekutuan Perdata (Maatschap), Firma (Fa), dan CV (Commanditaire Vennootschap).

Perbedaan mendasar antara keduanya terletak pada pengakuan hukum dan pembatasan tanggung jawab pendirinya.

Bentuk Usaha: Persekutuan Perdata (Maatschap)

Dari karakteristik yang dijelaskan, usaha Ali, Eldan, dan Andul Food termasuk dalam kategori Persekutuan Perdata (Maatschap) sebagaimana diatur dalam Pasal 1618 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa:

“Persekutuan adalah suatu perjanjian antara dua orang atau lebih yang sepakat untuk memasukkan sesuatu ke dalam persekutuan dengan maksud membagi keuntungan yang timbul karenanya.”

Usaha ini didirikan berdasarkan perjanjian sederhana, tanpa pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM, serta bertujuan mencari keuntungan bersama. Masing-masing anggota memberikan kontribusi berupa modal atau tenaga, sehingga bentuknya tidak memenuhi syarat sebagai badan hukum seperti PT.

Prinsip Tanggung Jawab dalam Persekutuan Perdata

Menurut Pasal 1619 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), setiap persekutuan perdata harus didasarkan pada tujuan yang halal serta diadakan untuk kepentingan bersama para anggotanya. Masing-masing anggota wajib memasukkan uang, barang, atau tenaga (usaha) ke dalam persekutuan tersebut. Oleh karena itu, tanggung jawab para sekutu bersifat pribadi dan proporsional.

Berdasarkan Pasal 1642–1645 KUH Perdata, dijelaskan bahwa para sekutu tidak terikat secara tanggung renteng terhadap seluruh utang persekutuan. Masing-masing sekutu tidak dapat mengikat sekutu lainnya, kecuali apabila telah diberikan kuasa untuk itu. Dengan demikian, para sekutu hanya dapat dituntut oleh pihak ketiga yang berpiutang kepada mereka masing-masing untuk jumlah dan bagian yang sama, meskipun besarnya bagian sekutu dalam persekutuan berbeda-beda, sebagaimana diatur dalam Pasal 1643 KUH Perdata.

Pengecualian berlaku apabila pada saat perjanjian utang dibuat telah ditetapkan secara tegas bahwa para sekutu wajib membayar utang tersebut sesuai dengan imbangan besarnya bagian masing-masing dalam persekutuan. Selanjutnya, janji bahwa suatu perbuatan dilakukan atas tanggungan persekutuan hanya mengikat sekutu yang melakukan perbuatan tersebut dan tidak mengikat sekutu lainnya, kecuali apabila sekutu-sekutu lain telah memberikan kuasa atau apabila perbuatan tersebut memberikan manfaat bagi persekutuan, sebagaimana diatur dalam Pasal 1643 KUH Perdata.

Apabila salah seorang sekutu atas nama persekutuan telah membuat suatu perjanjian, maka persekutuan berhak menuntut pelaksanaan perjanjian tersebut sesuai dengan Pasal 1645 KUH Perdata.

Dengan demikian, masing-masing sekutu hanya wajib menanggung kerugian sebanding dengan bagiannya dalam persekutuan. Selain itu, apabila salah satu sekutu melakukan perbuatan atas nama persekutuan tanpa kuasa dari sekutu lainnya, maka sekutu tersebut menanggung risiko secara pribadi.

Dalam persekutuan perdata, tidak terdapat pemisahan antara harta pribadi sekutu dan harta persekutuan. Apabila persekutuan memiliki utang, kreditur berhak menagih langsung kepada harta pribadi para sekutu. Dengan demikian, tanggung jawab dapat bersifat renteng (joint liability) apabila dalam perjanjian disebutkan bahwa para sekutu menanggung kewajiban secara bersama-sama.

Sebagai contoh, apabila usaha “Ali, Eldan, dan Andul Food” mengalami kerugian atau memiliki utang kepada pemasok bahan makanan, maka setiap sekutu wajib menanggung kerugian tersebut sebanding dengan modal yang telah disetor.

Jika salah satu sekutu, misalnya Ali, menandatangani kontrak pembelian bahan baku tanpa persetujuan dua sekutu lainnya, maka Ali bertanggung jawab sendiri atas akibat hukum dari tindakan tersebut sesuai dengan Pasal 1644 KUH Perdata. Karena persekutuan ini tidak berbadan hukum, pihak kreditur dapat menagih langsung kepada harta pribadi para sekutu untuk memenuhi kewajiban persekutuan.

Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa usaha yang dijalankan oleh Ali, Eldan, dan Andul termasuk dalam kategori Persekutuan Perdata (Maatschap), karena didirikan berdasarkan perjanjian sederhana dengan modal patungan, tidak memiliki akta notaris maupun pengesahan sebagai badan hukum, serta masing-masing sekutu bertanggung jawab secara pribadi dan proporsional terhadap seluruh kewajiban usaha. Hal tersebut sesuai dengan Pasal 1618 dan Pasal 1642–1645 KUH Perdata, yang menegaskan bahwa tanggung jawab para sekutu tidak terpisah dari kekayaan pribadi mereka. Oleh karena itu, setiap anggota persekutuan wajib menanggung risiko hukum maupun keuangan yang timbul dari kegiatan usaha bersama.

Bentuk usaha ini memang mudah didirikan, namun memiliki risiko hukum yang tinggi. Oleh karena itu, sebelum memulai usaha bersama, para pihak disarankan untuk memahami konsekuensi hukum dan mempertimbangkan pembentukan badan hukum seperti Perseroan Terbatas (PT) agar memperoleh perlindungan hukum yang lebih kuat.

Daftar Pustaka

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata).

Eddy, O.S. (2024). Hukum Acara Pidana (HKUM4406). Universitas Terbuka.

Eddy, O.S. (2021). Hukum Pidana (HKUM420301). Universitas Terbuka.

Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP).

Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

Karya: A. Hendra

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Komentar