Analisis Akademik, Ketepatan Putusan Verstek dalam Perkara Wanprestasi

BuletinNews.com – Dalam sistem peradilan perdata di Indonesia, penyelesaian sengketa didasarkan pada asas audi et alteram partem, yaitu setiap pihak memiliki hak untuk didengar dan membela diri. Namun, apabila tergugat yang telah dipanggil secara sah tidak hadir tanpa alasan yang sah, hukum acara perdata memberikan kewenangan kepada hakim untuk menjatuhkan putusan verstek.

Menurut Benny Riyanto dalam Materi Pokok Hukum Acara Perdata, putusan verstek merupakan bentuk efisiensi dalam proses peradilan guna mencegah tertundanya pemeriksaan perkara akibat ketidakhadiran pihak yang tidak beritikad baik atau mengabaikan panggilan pengadilan. Kendati demikian, penerapan putusan verstek harus tetap memenuhi syarat formil dan materiil secara ketat sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan, agar keadilan dan kepastian hukum tetap terjaga.

Istilah verstek berasal dari bahasa Belanda verstek laten gaan, yang berarti tidak hadir dalam persidangan. Dalam sistem hukum acara perdata Indonesia, ketentuan mengenai verstek diatur dalam Pasal 125 sampai dengan Pasal 129 Herziene Indonesisch Reglement (HIR) serta Pasal 149 sampai dengan Pasal 153 Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg).

Berdasarkan Pasal 125 ayat (1) HIR, putusan verstek dapat dijatuhkan apabila tergugat yang telah dipanggil secara sah tidak pernah hadir dalam persidangan dan tidak mengutus wakil atau kuasa hukumnya untuk hadir, serta gugatan penggugat dinilai beralasan. Namun demikian, ketentuan tersebut tidak bersifat imperatif. Artinya, hakim memiliki kewenangan untuk menunda sidang apabila menilai ketidakhadiran tergugat masih dapat dimaklumi atau demi prinsip kehati-hatian sebagaimana diatur dalam Pasal 126 HIR. Dengan demikian, putusan verstek bukan merupakan bentuk pelanggaran terhadap hak tergugat, melainkan langkah hukum yang sah apabila tergugat lalai menjalankan haknya untuk hadir di persidangan.

Dalam perkara wanprestasi (pelanggaran perjanjian) yang diajukan ke pengadilan negeri, majelis hakim dapat menjatuhkan putusan verstek apabila tergugat tidak hadir pada sidang pertama dan pemanggilan telah dilakukan secara sah dan patut. Apabila penggugat mampu membuktikan dalil-dalil gugatannya secara cukup dan meyakinkan, maka putusan verstek yang dijatuhkan majelis hakim dianggap tepat serta sesuai dengan ketentuan hukum acara perdata.

Hal tersebut sejalan dengan pendapat Rosa Agustina dalam Hukum Perdata Indonesia, yang menyatakan bahwa ketidakhadiran tergugat setelah dipanggil secara sah dapat ditafsirkan sebagai bentuk kelalaian atau sikap tidak kooperatif terhadap proses hukum. Dalam kondisi demikian, hakim berwenang melanjutkan pemeriksaan perkara tanpa kehadiran tergugat dan memutus perkara berdasarkan alat bukti yang diajukan oleh penggugat.

Lebih lanjut, Benny Riyanto menegaskan bahwa meskipun putusan verstek dijatuhkan tanpa kehadiran tergugat, hakim tetap wajib berhati-hati dan cermat dalam memeriksa bukti agar gugatan tidak mengandung cacat hukum. Putusan harus tetap mencerminkan kebenaran materiil, bukan sekadar formalitas administratif.

Meskipun putusan verstek bersifat ex parte (dijatuhkan tanpa kehadiran tergugat), hukum tetap memberikan perlindungan terhadap hak tergugat untuk membela diri melalui mekanisme verzet atau perlawanan terhadap putusan verstek. Berdasarkan Pasal 129 HIR, tergugat dapat mengajukan verzet dalam jangka waktu 14 (empat belas) hari sejak tanggal pemberitahuan putusan verstek diterimanya.

Apabila dalam pemeriksaan verzet penggugat asal (terlawan) tidak hadir, maka pemeriksaan dilakukan secara contradictoire. Namun, apabila pihak pelawan yang tidak hadir, hakim berwenang menjatuhkan putusan verstek untuk kedua kalinya. Terhadap putusan verstek yang dijatuhkan untuk kedua kalinya tersebut, upaya hukum yang dapat ditempuh bukan lagi verzet, melainkan banding, sebagaimana diatur dalam Pasal 129 ayat (5) HIR dan Pasal 153 ayat (5) RBg.
Dengan demikian, mekanisme verstek tetap mematuhi prinsip keadilan prosedural karena memberikan kesempatan kepada tergugat untuk mengajukan pembelaan setelah putusan dijatuhkan. Prinsip ini sejalan dengan Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, yang menjamin hak setiap orang atas kepastian hukum yang adil.

Menurut Prof. Maria Farida Indrati dalam Ilmu Perundang-undangan, setiap norma hukum harus memenuhi tiga unsur utama, yaitu kepastian hukum, keadilan, dan kemanfaatan. Dalam konteks putusan verstek, ketiga unsur tersebut terpenuhi.
Pertama, terdapat kepastian hukum bagi penggugat karena haknya dapat diproses tanpa bergantung pada kehadiran tergugat yang lalai.

Kedua, putusan tersebut mengandung keadilan formal, sebab dijatuhkan setelah pemanggilan dilakukan secara sah dan sesuai prosedur.

Ketiga, putusan verstek memberikan kemanfaatan sosial, karena mempercepat proses penyelesaian perkara dan mencegah penundaan hak pihak yang beritikad baik.

Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa putusan verstek merupakan instrumen hukum yang sah dan relevan dalam menjaga efektivitas serta integritas proses peradilan perdata, selama pelaksanaannya tetap memperhatikan asas kehati-hatian, keadilan, dan perlindungan terhadap hak asasi setiap pihak yang berperkara.

Sumber Referensi:
– Benny Riyanto. (2022). Materi Pokok Hukum Acara Perdata (BMP HKUM4405). Universitas Terbuka.
– Maria Farida Indrati. (2023). Ilmu Perundang-Undangan. Universitas Terbuka.
– Rosa Agustina. (2021). Hukum Perdata (BMP HKUM4202). Universitas Terbuka.
– Herziene Indonesisch Reglement (HIR) Pasal 125–129. RBg Pasal 149–153.
– UUD Negara Republik Indonesia Tahun 1945.

Karya: Andi Hendra

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Komentar