
BuletinNews.com – Dalam penegakan hukum tindak pidana korupsi, salah satu tantangan utama di Indonesia adalah pemulihan aset hasil kejahatan yang disembunyikan di luar negeri, terutama di negara tanpa hubungan diplomatik. Aset korupsi kerap dialihkan melalui jaringan keuangan internasional yang kompleks, sehingga memerlukan pendekatan hukum pidana, perdata, dan kerja sama internasional yang terpadu (Pujiyono, 2021; Eddy O.S. Hiariej, 2021).
Meskipun tanpa hubungan diplomatik, Indonesia masih dapat menggunakan beberapa mekanisme hukum berikut:
1. Mutual Legal Assistance (MLA).
Berdasarkan Pasal 57 UNCAC (diratifikasi melalui UU No. 7 Tahun 2006), Indonesia dapat meminta bantuan hukum timbal balik untuk melacak, membekukan, dan mengembalikan aset hasil korupsi. Jika negara tujuan bukan pihak UNCAC, kerja sama dapat dilakukan secara ad hoc atas asas timbal balik.
2. Ekstradisi.
UU No. 1 Tahun 1979 memungkinkan permintaan penyerahan pelaku atau aset sepanjang terdapat itikad baik antarnegara. Ekstradisi dapat dijalankan melalui negara ketiga atau lembaga internasional, meski tanpa hubungan diplomatik langsung.
3. Gugatan Perdata / Non-Conviction Based Confiscation (NCB).
Pasal 38C UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 memberi kewenangan kepada negara untuk merampas aset tanpa menunggu putusan pidana, termasuk bila pelaku meninggal dunia atau tidak diketahui.
4. Jalur Diplomasi dan Bantuan Internasional.
Pemerintah dapat melibatkan Kementerian Luar Negeri, Kemenkumham, dan KPK melalui nota diplomatik, kerja sama teknis, atau kolaborasi dengan organisasi seperti Interpol dan World Bank StAR Initiative.
Upaya pidana didasarkan pada Pasal 38 UU Tipikor untuk perampasan aset. Jalur perdata (Pasal 32–38C) digunakan guna memulihkan kerugian negara, sedangkan kerja sama internasional berlandaskan UNCAC (Pasal 54–57) dan UU No. 7 Tahun 2006. Dari sisi diplomatik, prinsip Konvensi Wina 1961 menjadi acuan hubungan lintas negara dalam repatriasi aset.
Hambatan yang sering dihadapi meliputi ketiadaan dasar formal MLA atau ekstradisi, perbedaan sistem hukum, keterbatasan kemampuan forensic accounting, serta tingginya biaya litigasi dan kendala politik antarnegara.
Indonesia perlu memperluas perjanjian MLA dan ekstradisi, meningkatkan diplomasi hukum internasional melalui lembaga seperti Interpol dan UNODC, mengoptimalkan mekanisme NCB, serta memperkuat kapasitas aparat penegak hukum dalam pelacakan aset lintas negara. Selain itu, penting membangun sistem digital pengawasan aset nasional yang melibatkan PPATK, KPK, dan OJK.
Secara yuridis, Indonesia tetap memiliki peluang menuntut dan menarik aset hasil korupsi di luar negeri meskipun tanpa hubungan diplomatik formal. Melalui MLA, ekstradisi, gugatan perdata, dan kerja sama internasional berbasis UNCAC, pengembalian aset negara dapat dilakukan. Keberhasilan upaya ini bergantung pada sinergi antarlembaga, kemampuan diplomatik, serta komitmen politik dalam pemberantasan korupsi global.
Sumber Referensi:
– Pujiyono. (2021). Tindak Pidana Korupsi. Universitas Terbuka.
-Eddy O.S. Hiariej. (2021). Hukum Pidana. Universitas Terbuka.
– Nandang Alamsah Deliarnoor. (2021). Ilmu Hukum. Universitas Terbuka.
– Sri Setianingsih. (2021). Hukum Internasional. Universitas Terbuka.
– United Nations Convention Against Corruption (UNCAC, 2003).
– UU No. 7 Tahun 2006; UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001; UU No. 1 Tahun 1979.
– UNODC & World Bank (2020). StAR Initiative: Asset Recovery Handbook.
Artikel Hukum Karya Andi Hendra











Komentar