
BuletinNews.com – Dalam dunia bisnis dan perbankan, risiko kredit menjadi salah satu tantangan utama yang harus dikelola dengan hati-hati. Kredit yang tidak dibayar tepat waktu berpotensi berubah menjadi kredit bermasalah (non-performing loan/NPL), yang berdampak pada stabilitas lembaga keuangan dan kepercayaan publik.
Menurut Nindyo Pramono dalam Hukum Bisnis, penanganan kredit bermasalah tidak sekadar urusan administratif, tetapi juga mencakup dimensi hukum perdata dan bisnis, karena melibatkan perjanjian kredit, jaminan, serta hubungan kepercayaan antara bank dan debitur.
Sementara itu, Ismail Solihin dalam Pengantar Bisnis menegaskan pentingnya manajemen hubungan pelanggan (customer relationship management), terutama dalam situasi kesulitan keuangan. Bank perlu menyeimbangkan antara kepentingan bisnis jangka pendek dengan keberlanjutan usaha nasabah dan reputasi lembaga keuangan itu sendiri.
Contoh konkret dapat dilihat pada kasus seorang nasabah pemilik kafe yang mengalami kesulitan membayar cicilan akibat proyek drainase di sekitar lokasi usahanya. Gangguan eksternal ini menyebabkan penurunan omzet dan menghambat akses pelanggan.
Padahal, nasabah tersebut memiliki riwayat pembayaran yang baik dan tidak mengalami kegagalan usaha. Kondisi ini menunjukkan bahwa permasalahan bersifat sementara (temporary problem), bukan akibat wanprestasi atau penyalahgunaan dana.
Dalam teori perbankan dan hukum bisnis, dikenal tiga strategi utama penyelamatan kredit bermasalah, yakni rescheduling, reconditioning, dan restructuring.
1. Rescheduling (Penjadwalan Kembali)
Merupakan langkah awal dan paling ringan. Bank dapat memperpanjang tenor kredit, menurunkan cicilan, atau memberi masa tenggang (grace period) tanpa mengubah substansi perjanjian kredit.
Menurut Nindyo Pramono (2024), strategi ini tepat diterapkan jika kesulitan debitur bersifat sementara dan disebabkan faktor eksternal. Dalam kasus kafe tersebut, bank dapat menunda pembayaran pokok selama 3–6 bulan hingga usaha kembali stabil.
2. Reconditioning (Persyaratan Kembali)
Melibatkan perubahan syarat kredit, seperti penurunan bunga atau penghapusan denda. Namun, langkah ini lebih kompleks karena mengubah kesepakatan hukum awal dan hanya dilakukan bila rescheduling tidak cukup efektif.
3. Restructuring (Penataan Kembali)
Diterapkan jika kemampuan bayar nasabah menurun secara signifikan dan tidak bisa dipulihkan. Bentuknya bisa berupa konversi utang menjadi modal (debt to equity swap) atau penambahan modal kerja baru.
Ketiga strategi ini diatur dalam Surat Edaran Bank Indonesia Nomor 26/4/BPPP Tahun 1993 dan diadopsi oleh POJK Nomor 40/POJK.03/2019 tentang Penilaian Kualitas Aset Bank Umum.
Dalam konteks kasus kafe tersebut, strategi yang paling tepat adalah rescheduling.
Langkah ini mempertahankan hubungan kepercayaan (relationship banking) antara bank dan nasabah beritikad baik, sejalan dengan asas kehati-hatian (prudential banking) yang diatur oleh OJK dan Bank Indonesia.
Rescheduling tidak hanya mencerminkan prinsip kepastian hukum, tetapi juga tanggung jawab sosial lembaga keuangan, dengan memberi ruang bagi nasabah untuk memulihkan pendapatan setelah hambatan eksternal teratasi.
Pendekatan ini menunjukkan bahwa hukum bisnis modern tidak semata-mata berorientasi pada profit, tetapi juga pada keseimbangan antara kepentingan ekonomi dan kemanusiaan.
Rescheduling menjadi strategi penyelamatan kredit yang proporsional, efisien, dan humanis dalam menghadapi kredit bermasalah akibat faktor eksternal. Pendekatan ini memperkuat prinsip keadilan dan kepercayaan dalam hubungan bank dan nasabah, serta mendukung stabilitas sistem keuangan nasional.
Artikel Hukum Karya Andi Hendra











Komentar