
BuletinNews.com – Dalam praktik dunia usaha modern, dinamika pasar dan tekanan kompetitif sering kali mendorong perusahaan melakukan restrukturisasi korporasi sebagai langkah penyelamatan bisnis (corporate rescue). Menurut Nyulistiowati Suryanti (2021), restrukturisasi dapat dilakukan melalui merger, akuisisi, konsolidasi, hingga pembentukan holding company. Semua mekanisme ini diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UUPT) sebagai upaya menjaga kesinambungan usaha dan menerapkan prinsip Good Corporate Governance (GCG).
Contoh konkret terlihat pada kasus PT Cantik Indah dan PT Berseri, serta pembentukan Holding BUMN Migas Pertamina–PGN, yang mencerminkan penerapan restrukturisasi untuk efisiensi dan perlindungan ekonomi nasional.
Restrukturisasi Korporasi sebagai Strategi Penyelamatan
Kasus antara PT Berseri dan PT Cantik Indah menggambarkan bentuk akuisisi sukarela sebagai upaya penyelamatan perusahaan dari kebangkrutan. PT Berseri memberikan bantuan modal dengan konsekuensi perubahan status hukum PT Cantik Indah menjadi anak perusahaan.
Menurut Suryanti (2021) dan Nindyo Pramono (2024), restrukturisasi melalui merger atau akuisisi sering digunakan untuk meningkatkan efisiensi, memperbaiki kinerja finansial, serta menghindari likuidasi. Langkah ini merupakan bentuk restrukturisasi eksternal yang bertujuan memperkuat struktur modal dan memperluas jangkauan bisnis tanpa meniadakan entitas ekonomi yang ada.
Dari sisi hukum, tindakan ini sah apabila dilakukan dengan persetujuan RUPS, transparansi laporan keuangan, dan pengumuman publik, sebagaimana diatur dalam Pasal 125–128 UUPT. Transparansi dan akuntabilitas menjadi bagian penting dari penerapan prinsip Good Corporate Governance.
Holding Company dan Efisiensi Korporatif
Pembentukan Holding BUMN Migas menempatkan PT Pertamina (Persero) sebagai induk perusahaan (holding) dan PT PGN sebagai anak perusahaan (subsidiary). Berdasarkan PP No. 72 Tahun 2016, hubungan hukum antara keduanya bersifat hierarkis melalui kepemilikan saham mayoritas.
Pertamina memiliki kontrol strategis dalam RUPS PGN dan berhak menentukan arah kebijakan grup. Meskipun demikian, PGN tetap memiliki kepribadian hukum sendiri sesuai dengan Pasal 3 UUPT. Struktur ini terbukti efektif meningkatkan efisiensi pasokan energi nasional serta mencegah tumpang tindih investas
Kasus Lippo dan Pentingnya Penerapan Good Corporate Governance
Sebaliknya, kasus korupsi proyek Meikarta (2018) yang melibatkan Grup Lippo menjadi contoh nyata lemahnya penerapan GCG. Skandal tersebut menyebabkan anjloknya nilai saham dan hilangnya kepercayaan publik.
Menurut Ketua KPK Firli Bahuri, lemahnya penerapan prinsip akuntabilitas dan transparansi dalam korporasi berpotensi membuka ruang bagi praktik korupsi dan penyalahgunaan wewenang.
Dalam konteks hukum perusahaan, Pasal 3 ayat (1)–(2) UUPT menegaskan prinsip tanggung jawab terbatas pemegang saham, namun juga membuka kemungkinan pertanggungjawaban pribadi (piercing the corporate veil) jika terjadi penyalahgunaan badan hukum untuk kepentingan pribadi atau tindak pidana.
Dengan demikian, ketentuan ini sekaligus mencerminkan prinsip akuntabilitas, tanggung jawab, dan transparansi sebagai nilai dasar Good Corporate Governance untuk mencegah praktik korupsi di lingkungan korporasi.
Analisis Prinsip GCG dalam UUPT
UUPT memuat sejumlah ketentuan yang mencerminkan prinsip GCG, antara lain:
1. Akuntabilitas: Pasal 92 dan Pasal 97 mewajibkan direksi bertanggung jawab atas kebijakan perusahaan di hadapan RUPS.
2. Transparansi: Pasal 66 dan Pasal 68 mewajibkan laporan tahunan dan pengesahan RUPS sebagai bentuk keterbukaan publik.
3. Responsibility: Pasal 3 ayat (2) memberi sanksi bagi pemegang saham yang bertindak dengan itikad buruk.
4. Fairness: Pasal 108 menjamin fungsi pengawasan dewan komisaris dan perlindungan terhadap seluruh pemegang saham, baik mayoritas maupun minoritas.
Prinsip-prinsip tersebut membentuk sistem pengawasan internal yang mencegah penyimpangan dan memperkuat kepercayaan publik terhadap perusahaan.
Penerapan Good Corporate Governance bukan sekadar kewajiban hukum, tetapi juga strategi keberlanjutan bisnis. Kasus Meikarta menjadi pelajaran bahwa tanpa transparansi dan akuntabilitas, restrukturisasi dan pertumbuhan ekonomi perusahaan dapat berakhir pada krisis kepercayaan dan keruntuhan reputasi.
Sebaliknya, restrukturisasi yang taat hukum seperti pada kasus PT Berseri–PT Cantik Indah dan Holding Pertamina–PGN membuktikan bahwa penerapan prinsip GCG mampu menciptakan tata kelola yang sehat, efisien, dan berintegritas.
Sumber Referensi:
– Suryanti, Nyulistiowati. (2021). Hukum Perusahaan (BMP HKUM4303). Universitas Terbuka.
– Pramono, Nindyo. (2021). Hukum Bisnis (BMP EKMA4316). Universitas Terbuka.
– Republik Indonesia. (2007). Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas.
– Utami, N. & Supriyono, H. (2022). Good Corporate Governance dan Kinerja Perusahaan. Jurnal Ilmu Hukum dan Bisnis, 8(3).
Jurnal Hukum Perusahaan: Karya Andi Hendra











Komentar