Pemulihan Aset Hasil Tindak Pidana di Indonesia Tantangan dan Reformasi Hukum

BuletinNews.com – Pemulihan aset hasil tindak pidana (asset recovery) merupakan komponen strategis dalam pemberantasan korupsi dan tindak pidana pencucian uang (TPPU). Meskipun Indonesia telah memiliki kerangka hukum yang kuat melalui UU Tipikor, UU TPPU, dan ratifikasi United Nations Convention Against Corruption (UNCAC) 2003, implementasinya masih belum optimal. Artikel ini menganalisis kendala utama dalam pelaksanaan asset recovery, termasuk lemahnya koordinasi antar lembaga, keterbatasan kapasitas aparat penegak hukum, serta belum adanya undang-undang khusus tentang perampasan aset. Kajian ini menekankan pentingnya reformasi hukum dengan menjadikan asset recovery sebagai pidana pokok dan mengedepankan pendekatan restorative justice guna memulihkan kerugian negara secara efektif dan berkeadilan.

Pemulihan aset hasil tindak pidana (asset recovery) merupakan bagian penting dari strategi pemberantasan korupsi dan TPPU. Indonesia telah memiliki dasar hukum kuat melalui Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 jo. Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor), Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang (UU TPPU), serta ratifikasi UNCAC 2003 melalui Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2006. Ketiga instrumen hukum ini menegaskan kewajiban negara dalam pemulihan aset hasil kejahatan.

Namun, praktik asset recovery di Indonesia masih menghadapi berbagai kendala, terutama karena pendekatan hukum yang masih berorientasi pada penghukuman (retributive justice), bukan pada pemulihan kerugian negara. Hal ini menyebabkan banyak aset hasil korupsi tidak berhasil dikembalikan meskipun pelaku telah dihukum.

Mekanisme pemulihan aset diatur dalam Pasal 18 UU Tipikor dan Pasal 67–74 UU TPPU, yang mencakup dua pendekatan utama, yaitu conviction-based dan non-conviction-based asset forfeiture. Namun, menurut Pujiyono (2023), penerapan perampasan aset masih bersifat pidana tambahan yang fakultatif, sehingga efektivitasnya sangat bergantung pada kreativitas penuntut umum dan penafsiran hakim.

Sementara itu, Eddy O.S. Hiariej (2021) menyoroti lemahnya kemampuan penyidik dan jaksa dalam melakukan penelusuran aset lintas negara, kerja sama internasional (mutual legal assistance), serta pemanfaatan teknologi keuangan digital. Laporan ICW (2020) juga menunjukkan ketimpangan antara kerugian negara akibat korupsi sebesar Rp56,7 triliun dengan uang pengganti yang berhasil dikembalikan hanya Rp8,9 triliun.

Hambatan utama dalam implementasi asset recovery mencakup:

1. Fragmentasi kelembagaan, di mana KPK, Kejaksaan, Kepolisian, dan PPATK belum memiliki sistem integrasi data aset nasional, sehingga sering terjadi tumpang tindih kewenangan dan lemahnya koordinasi.
2. Keterbatasan sumber daya manusia, terutama dalam bidang forensic accounting, investigasi lintas negara, dan pelacakan aset digital.
3. Ketiadaan regulasi khusus tentang perampasan aset, yang menyebabkan kesulitan dalam eksekusi terhadap aset tersembunyi, dialihkan, atau berada di luar negeri.

Febby Mutiara Nelson (2021) menegaskan bahwa penanganan tindak pidana ekonomi seperti korupsi dan TPPU memerlukan sinergi lintas sektor karena kejahatan ekonomi berdampak langsung pada stabilitas keuangan negara.

Paradigma retributive justice yang menitikberatkan pada penghukuman pelaku dinilai tidak efektif untuk mengembalikan kerugian negara. Sindhi Cintya dkk. (2022) mengemukakan bahwa orientasi hukum seharusnya bergeser menuju restorative justice, yaitu pendekatan yang menekankan pemulihan aset dan kesejahteraan publik. UNCAC (2003) juga merekomendasikan mekanisme ini bagi negara-negara anggota.

Selain itu, walaupun UU Tipikor telah mengenal pembuktian terbalik (Pasal 37A), penerapannya masih lemah dan belum konsisten di pengadilan. Hambatan juga muncul dalam kerja sama internasional akibat lamanya proses mutual legal assistance dan perbedaan sistem hukum antarnegara.

Untuk memperkuat pelaksanaan asset recovery, beberapa langkah strategis diperlukan:

1. Pembentukan Undang-Undang Perampasan Aset, sebagaimana direkomendasikan oleh Marfuatul Latifah (2015), yang mengatur non-conviction-based forfeiture dan pengelolaan aset sitaan oleh lembaga khusus.
2. Peningkatan kapasitas aparat penegak hukum melalui pelatihan forensik keuangan digital dan investigasi lintas negara.
3. Penguatan peran PPATK dalam tahap pra-penuntutan serta pembentukan tim nasional pemulihan aset yang melibatkan KPK, Kejaksaan, dan Kementerian Keuangan.
4. Adopsi paradigma restorative justice yang menempatkan pemulihan kerugian negara sebagai tujuan utama, bukan sekadar pemenjaraan pelaku.

Secara normatif, kerangka hukum pemulihan aset di Indonesia telah memadai. Namun, lemahnya koordinasi antar lembaga, keterbatasan SDM dan teknologi, serta ketiadaan regulasi khusus menyebabkan efektivitasnya belum optimal. Diperlukan reformasi hukum dengan menjadikan asset recovery sebagai pidana pokok dan memperkuat sinergi kelembagaan untuk mewujudkan tujuan pemberantasan korupsi yang berkeadilan, berorientasi pada pemulihan kerugian negara, dan peningkatan kesejahteraan publik.

Daftar Pustaka
– Cintya, Sindhi, dkk. (2022). “Reformulasi Asset Recovery sebagai Pidana Pokok dalam Upaya Pengembalian Kerugian Negara.” Jurnal Hukum Tarumanagara.
– Eddy O.S. Hiariej. (2021). Hukum Acara Pidana (BMP HKU4406). Universitas Terbuka.
– Hiariej, Eddy O.S. (2021). Hukum Pidana (HKUM4203). Universitas Terbuka.
– Latifah, Marfuatul. (2015). “Urgensi Pembentukan Undang-Undang Perampasan Aset Hasil Tindak Pidana di Indonesia.” Jurnal Negara Hukum, 6(1).
– Nelson, Febby Mutiara. (2021). Hukum Pidana Ekonomi (FSIH4303). Universitas Terbuka.
– Pujiyono. (2023). Tindak Pidana Korupsi (BMP HKUM4310). Universitas Terbuka.
– ICW. (2021). “Kerugian Negara Rp56,7 Triliun, Uang Pengganti Rp8,9 Triliun.” Kompas.com.
– Komisi Pemberantasan Korupsi. (2023). Laporan Statistik dan Capaian Pemulihan Aset Negara.
– United Nations. (2003). United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).

Artikel Hukum Karya Andi Hendra 

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Komentar