
BuletinNews.com – Dalam dunia bisnis modern, pemilihan bentuk badan usaha merupakan keputusan hukum yang strategis dan berdampak jangka panjang. Bentuk badan usaha menentukan struktur tanggung jawab, mekanisme pengelolaan, serta tingkat perlindungan hukum bagi para pendiri. Oleh karena itu, pelaku usaha wajib memahami aspek normatif dan yuridis sebelum menentukan pilihan antara Persekutuan Komanditer (CV) atau Perseroan Terbatas (PT).
Kasus yang dihadapi Budi dan Ani, dua sahabat yang berencana mendirikan coffee shop, merupakan contoh nyata dilema tersebut. Budi memiliki modal besar dan ingin menjadi investor pasif, sementara Ani memiliki keahlian di bidang manajemen dan ingin aktif menjalankan usaha. Situasi ini menimbulkan pertanyaan mendasar: bentuk usaha apa yang paling tepat dan aman secara hukum?
Dalam perspektif hukum bisnis, Persekutuan Komanditer (CV) merupakan bentuk usaha yang bukan badan hukum, melainkan persekutuan perdata. Berdasarkan Pasal 19 Kitab Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), CV didirikan oleh dua atau lebih pihak dengan pembagian peran antara sekutu komplementer (aktif) dan sekutu komanditer (pasif). Sekutu aktif mengelola perusahaan dan menanggung seluruh risiko usaha, sedangkan sekutu pasif hanya menyetor modal tanpa ikut dalam manajemen.
Sebaliknya, Perseroan Terbatas (PT) sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (1) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (UU PT), merupakan badan hukum yang didirikan berdasarkan perjanjian dan melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang terbagi atas saham. Setiap pemegang saham bertanggung jawab terbatas hanya sebesar modal yang disetorkannya.
CV tidak memiliki kekayaan terpisah dari para sekutunya, sedangkan PT memiliki kekayaan sendiri sebagai badan hukum (separate legal entity).
Sekutu aktif dalam CV menanggung tanggung jawab tidak terbatas, sementara pemegang saham PT memiliki tanggung jawab terbatas.
Pendirian CV relatif mudah karena tidak memerlukan pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM, sedangkan PT baru sah setelah disahkan oleh Kementerian Hukum dan HAM (Pasal 7 ayat (4) UU PT).
Dalam kasus Budi dan Ani, pola kerja sama antara pemilik modal dan pengelola usaha secara konseptual lebih mendekati bentuk Persekutuan Komanditer (CV). Budi dapat menjadi sekutu komanditer yang hanya menanam modal, sementara Ani menjadi sekutu komplementer yang mengelola bisnis sehari-hari.
Namun, bentuk CV memiliki risiko hukum yang cukup besar. Berdasarkan Pasal 19 KUHD, sekutu aktif bertanggung jawab pribadi dan tidak terbatas terhadap seluruh kewajiban CV. Artinya, apabila usaha mengalami kerugian, harta pribadi Ani dapat digunakan untuk melunasi utang perusahaan.
Sebaliknya, dalam PT, tanggung jawab para pemegang saham dibatasi hanya pada modal yang disetorkan (Pasal 3 ayat (1) UU PT). Hal ini berarti bahwa jika coffee shop mengalami kerugian, baik Budi maupun Ani tidak perlu mempertaruhkan harta pribadinya.
Sebagai konsultan hukum, rekomendasi pendirian Perseroan Terbatas (PT) lebih tepat untuk kasus Budi dan Ani, terutama bila mereka memiliki rencana ekspansi bisnis jangka panjang.
Menurut Pramono Nindyo (2025) dalam Hukum Bisnis, karakteristik utama PT adalah adanya pemisahan tegas antara harta kekayaan pribadi pemegang saham dengan harta kekayaan perusahaan, yang dikenal dengan asas separate legal entity. Dengan demikian, PT diakui sebagai subjek hukum mandiri yang memiliki hak dan kewajiban sendiri, dapat menggugat atau digugat, serta mengikat perjanjian atas nama perusahaan.
Keunggulan tambahan dari PT antara lain:
- Perlindungan hukum lebih kuat, karena status badan hukum baru diakui setelah pengesahan dari Menteri Hukum dan HAM.
- Kemudahan ekspansi modal, sebab modal dasar PT dapat dibagi ke dalam saham, sehingga investor baru dapat masuk tanpa mengubah struktur hukum.
- Tata kelola yang transparan, karena PT wajib menyampaikan laporan keuangan tahunan dan menjalani audit (Pasal 66 UU PT).
Meskipun CV menawarkan kemudahan pendirian dan biaya operasional yang rendah, bentuk usaha ini tidak memberikan perlindungan hukum yang memadai bagi sekutu aktif. Sebaliknya, Perseroan Terbatas (PT) memberikan struktur hukum yang lebih kokoh, tanggung jawab terbatas, serta fleksibilitas pengembangan usaha di masa depan.
Dengan demikian, bagi Budi dan Ani yang ingin membangun usaha coffee shop dengan potensi ekspansi dan sistem kemitraan yang profesional, bentuk PT adalah pilihan paling tepat. Pilihan ini sejalan dengan prinsip keadilan dan kepastian hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 3 ayat (1) UU PT, bahwa tanggung jawab pemegang saham hanya sebatas pada modal yang disetorkan.
Pendekatan ini mencerminkan keseimbangan antara perlindungan hukum, efisiensi bisnis, dan keberlanjutan ekonomi dalam praktik dunia usaha modern.
Karya: A. Hendra











Komentar