Analisis Yuridis terhadap Keabsahan Perkawinan Ganda dalam Perspektif Hukum Perdata Internasional

BuletinNews.com – Hukum Perdata Internasional (HPI) berfungsi mengatur hubungan hukum perdata yang mengandung unsur asing, seperti perkawinan antara warga negara dari dua negara berbeda. Dalam konteks tersebut, perbedaan sistem hukum, asas-asas hukum keluarga, serta prinsip ketertiban umum (public policy/ordre public) sering kali menjadi pertimbangan hakim dalam menentukan hukum yang berlaku.

Kasus antara Bistro (alias Kartono Hakim) dan Kho Misih Nio merupakan contoh klasik dalam kajian HPI karena berkaitan dengan pernikahan lintas sistem hukum (Tiongkok dan Indonesia) serta indikasi penyelundupan hukum (fraus legis).

Fakta Kasus
– 1914: Bistro (Tjoa Peng An) menikah dengan Kho Misih Nio di Tiongkok menurut adat Tionghoa.
– 1923: Bistro menikah lagi dengan Mordijah di Indonesia dengan berpura-pura memeluk Islam dan mengganti nama menjadi Kartono Hakim.
– 1925: Bistro menceraikan Mordijah.
– 1926: Bistro menikah kembali dengan Parijem.
– 1925: Pernikahan pertama dengan Kho Misih Nio dicatat secara resmi di Catatan Sipil.

Menurut Zulfa Djoko Basuki (2021) dalam Hukum Perdata Internasional (FHIS4403), keabsahan perkawinan lintas negara ditentukan oleh dua asas utama:
1. Asas Lex Loci Celebrationis – Hukum yang berlaku adalah hukum di tempat perkawinan dilangsungkan.
2. Asas Ketertiban Umum (Ordre Public) – Hukum asing tidak berlaku apabila bertentangan dengan prinsip-prinsip hukum fundamental negara yang berwenang.

Berdasarkan asas tersebut:
– Pernikahan pertama (1914) sah menurut hukum adat Tiongkok.
– Pernikahan kedua (1923) dan ketiga (1926) tidak sah menurut hukum Indonesia karena pada masa itu, sistem hukum Hindia Belanda menganut asas monogami bagi warga non-Muslim (berdasarkan Burgerlijk Wetboek dan Reglement Catatan Sipil).

Tindakannya berpura-pura masuk Islam untuk menikah lagi merupakan bentuk penyelundupan hukum, karena dilakukan untuk menghindari larangan hukum yang berlaku.

Sebagaimana dijelaskan Rosa Agustina (2021) dalam Hukum Perdata, perkawinan kedua tanpa perceraian sah dari istri pertama batal demi hukum, karena melanggar asas monogami yang berlaku pada masa itu.

Prinsip Penyelundupan Hukum (Fraus Legis)

Penyelundupan hukum (fraus legis) adalah Perbuatan hukum yang dilakukan seseorang untuk memperoleh akibat hukum tertentu berdasarkan hukum asing, yang apabila dilakukan menurut hukum nasionalnya akibat itu tidak akan terwujud.

Dengan demikian, fraus legis terjadi ketika seseorang secara sengaja menghindari penerapan hukum nasional guna memperoleh akibat hukum yang dilarang oleh negaranya sendiri.

Bistro menghindari larangan asas monogami dalam hukum sipil Hindia Belanda. Ia berpura-pura masuk Islam untuk tunduk pada hukum yang memperbolehkan poligami. Perubahan agama tersebut tidak didasari keyakinan, melainkan semata-mata untuk mencapai akibat hukum tertentu (yakni izin menikah lagi).

Menurut Sri Setianingsih (2021) dalam Hukum Internasional, tindakan demikian melanggar asas itikad baik (good faith) dalam penerapan hukum lintas negara dan dapat dikesampingkan hakim berdasarkan asas ketertiban umum.

Asas Ketertiban Umum dalam HPI

Dalam PPT Ketertiban Umum dan Hak-Hak yang Telah Diperoleh (UT, 2024) dijelaskan bahwa Hakim dapat menolak berlakunya hukum asing apabila hukum tersebut bertentangan dengan sendi-sendi pokok hukum nasional atau rasa keadilan masyarakat.

Dengan berpedoman pada asas ini, hakim Indonesia berwenang menolak mengakui perkawinan kedua dan ketiga Bistro karena:
1. Bertentangan dengan asas monogami dalam hukum perdata nasional;
2. Menyalahi asas itikad baik;
3. Tidak sejalan dengan nilai-nilai ketertiban umum dan moralitas hukum Indonesia.

Menurut Nandang Alamsah Deliarnoor (2021) dalam Ilmu Hukum, penyelundupan hukum merupakan pelanggaran terhadap asas kejujuran dan keadilan karena dilakukan untuk memanipulasi penerapan hukum. Dalam konteks HPI, hakim dapat menolak akibat hukum tersebut dengan menggunakan asas ketertiban umum.

Sementara itu, Reno Wikandaru (2023) dalam Pendidikan Kewarganegaraan menekankan pentingnya moralitas hukum dan kesadaran warga negara untuk tunduk pada sistem hukum nasional tanpa melakukan manipulasi status hukum atau yurisdiksi.

Kasus Bistro menjadi preseden akademik penting dalam studi HPI karena menunjukkan bagaimana fraus legis dapat digunakan untuk menolak pemberlakuan hukum asing yang bertentangan dengan asas fundamental hukum nasional.

1. Pernikahan kedua dan ketiga yang dilakukan oleh Bistro tidak sah menurut hukum Indonesia karena bertentangan dengan asas monogami dan dilakukan tanpa perceraian sah dari istri pertama.
2. Tindakan Bistro yang berpura-pura memeluk Islam untuk menghindari larangan hukum merupakan bentuk penyelundupan hukum (fraus legis).
3. Berdasarkan asas ketertiban umum, hakim Indonesia berhak menolak akibat hukum dari perbuatan tersebut karena bertentangan dengan prinsip dasar sistem hukum nasional dan moralitas publik.

Sumber Referensi
– Basuki, Zulfa Djoko. (2021). Hukum Perdata Internasional (BMP FHIS4403). Universitas Terbuka.
– Agustina, Rosa. (2021). Hukum Perdata. Universitas Terbuka.
– Setianingsih, Sri. (2021). Hukum Internasional. Universitas Terbuka.
– Wikandaru, Reno. (2023). Pendidikan Kewarganegaraan. Universitas Terbuka.
– Deliarnoor, Nandang Alamsah. (2021). Ilmu Hukum. Universitas Terbuka.
– UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan.
– Rini, L. (2022). Penerapan Asas Ketertiban Umum dalam Hukum Perdata Internasional Indonesia. Jurnal Hukum dan Pembangunan, 52(2).

Karya: Andi Hendra 

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

IDCloudHost | SSD Cloud Hosting Indonesia

Komentar