
BuletinNews.com – Dalam sistem peradilan pidana Indonesia, putusan hakim merupakan puncak dari seluruh proses pemeriksaan di pengadilan. Hakim tidak hanya berperan sebagai penerap undang-undang, tetapi juga sebagai penjaga keadilan substantif. Namun, karena manusia tidak luput dari kesalahan, hukum menyediakan mekanisme untuk memperbaiki kekhilafan atau kekeliruan dalam putusan. Salah satu mekanisme tersebut adalah upaya hukum luar biasa, yang mencakup peninjauan kembali (PK), kasasi demi kepentingan hukum, dan grasi.
Menurut Eddy O. S. Hiariej (2021) dalam Hukum Acara Pidana, upaya hukum luar biasa merupakan bentuk perlindungan terhadap prinsip keadilan yang hidup di masyarakat. Tujuannya adalah menjaga agar putusan pengadilan tetap berorientasi pada kebenaran materiil (material truth), bukan hanya kebenaran formal. Dalam konteks ini, grasi tidak semata-mata merupakan tindakan belas kasihan Presiden, melainkan instrumen korektif konstitusional terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap, dengan tetap memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (MA).
Secara normatif, dasar hukum grasi diatur dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, yang menyebutkan bahwa Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan MA. Ketentuan ini kemudian diperjelas melalui Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi, sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 5 Tahun 2010.
Dalam Hukum Pidana, Hiariej menjelaskan bahwa grasi adalah pengampunan atau keringanan hukuman yang diberikan Presiden kepada seseorang yang telah dijatuhi pidana dan putusannya berkekuatan hukum tetap (in kracht van gewijsde). Bentuk grasi dapat berupa pengurangan pidana, penghapusan sebagian hukuman, penggantian jenis pidana, atau pembebasan dari pidana.
Berbeda dari amnesti atau abolisi, grasi diberikan kepada individu tertentu atas dasar kemanusiaan atau kekhilafan, bukan untuk tujuan politik.
Lebih lanjut, pertimbangan Mahkamah Agung sebelum pemberian grasi menjadi hal yang sangat penting. Sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 14 ayat (1) UUD 1945, Presiden tidak memiliki kewenangan absolut. Keterlibatan MA mencerminkan prinsip checks and balances antara kekuasaan eksekutif dan yudikatif.
Menurut Feicy Filisia Ansow dalam Lex et Societatis (2016), MA berfungsi menjaga integritas sistem keadilan agar pemberian grasi tidak bertentangan dengan kepastian hukum dan rasa keadilan masyarakat. Hal ini memastikan bahwa grasi tidak menjadi celah penyalahgunaan wewenang oleh eksekutif.
Sementara itu, Nandang Alamsah Deliarnoor (2021) menegaskan bahwa sistem hukum Indonesia menganut prinsip integratif antara lembaga negara. Artinya, kekuasaan eksekutif, legislatif, dan yudikatif harus saling mengontrol untuk menjaga supremasi hukum dan mencegah dominasi salah satu cabang kekuasaan.
Dari perspektif konstitusional, pemberian grasi yang mempertimbangkan pandangan Mahkamah Agung bukan hanya formalitas, tetapi bagian dari mekanisme koreksi hukum dan moral dalam negara hukum. Grasi menjadi simbol keseimbangan antara keadilan hukum dan kemanusiaan, sekaligus menegaskan bahwa hukum tidak boleh kehilangan sisi moralnya.
Sebagaimana ditegaskan oleh Eddy O. S. Hiariej, grasi merupakan hak konstitusional Presiden yang berakar pada nilai-nilai keadilan substantif. Dalam konteks negara hukum sebagaimana diatur dalam Pasal 1 ayat (3) UUD 1945, grasi berfungsi memastikan bahwa setiap putusan pengadilan tidak hanya sah secara hukum, tetapi juga adil secara sosial dan moral.
Dengan demikian, grasi tidak sekadar hak prerogatif Presiden, melainkan instrumen hukum yang berfungsi korektif, kemanusiaan, dan konstitusional — sebuah refleksi nyata dari prinsip rule of law dan keadilan substantif dalam sistem hukum pidana Indonesia.
Jurnal Hukum Karya Andi Hendra











Komentar