
BuletinNews.com – Tindak pidana korupsi di Indonesia dikategorikan sebagai kejahatan luar biasa (extraordinary crime) karena dampaknya yang sistemik terhadap stabilitas sosial, ekonomi, serta kepercayaan publik terhadap negara hukum. Oleh sebab itu, sistem hukumnya dirancang secara lex specialis, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 juncto Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). Sebagai hukum khusus (lex specialis derogat legi generali), UU Tipikor memperkenalkan sistem pembalikan beban pembuktian (reversal burden of proof) sebagai pengecualian terhadap asas umum dalam hukum pidana.
Dalam perspektif hak asasi manusia (HAM), penerapan sistem ini menimbulkan perdebatan karena berpotensi bertentangan dengan asas praduga tak bersalah (presumption of innocence) sebagaimana diatur dalam Pasal 8 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman serta Pasal 18 ayat (1) UU No. 39 Tahun 1999 tentang HAM. Oleh karena itu, pembahasan ini menganalisis penerapan pembalikan beban pembuktian dalam tindak pidana korupsi dari sudut pandang perlindungan HAM, dengan mengacu pada karya Pujiyono (2025), Eddy (2021), dan Nandang Alamsah Deliarnoor (2021).
Menurut Pujiyono (2025) dalam Tindak Pidana Korupsi (BMP HKUM4310), UU Tipikor merupakan hukum khusus (lex specialis) yang menyimpangi hukum pidana umum (KUHP dan KUHAP). Kekhususan ini mencakup tiga hal utama:
1. Perluasan alat bukti (Pasal 26A UU Tipikor);
2. Pemeriksaan in absentia;
3. Pembalikan beban pembuktian (Pasal 37A UU Tipikor).
Sebagai lex specialis, UU Tipikor dirancang untuk mendukung pemberantasan korupsi secara efektif dan efisien, namun tetap menjamin prinsip keadilan dan perlindungan hak-hak tersangka.
Menurut Eddy (2021) dalam Hukum Acara Pidana (BMP HKUM4406), sistem pembuktian dalam hukum acara pidana Indonesia menganut teori pembuktian negatif menurut undang-undang (negatief-wettelijk theory), sebagaimana diatur dalam Pasal 183 KUHAP:
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Sistem ini menempatkan beban pembuktian sepenuhnya pada penuntut umum serta menjamin asas praduga tak bersalah bagi terdakwa. Namun, dalam UU Tipikor, sistem ini mengalami modifikasi melalui Pasal 37A, yang memperkenalkan pembuktian terbalik yang bersifat terbatas dan berimbang (balanced limited reversal of proof).
Berdasarkan Pasal 37A UU No. 20 Tahun 2001, terdakwa memiliki kesempatan untuk membuktikan bahwa harta kekayaannya bukan berasal dari tindak pidana korupsi. Penerapan sistem ini memiliki dua karakteristik:
Bersifat tidak absolut, karena penuntut umum tetap wajib membuktikan unsur-unsur tindak pidana korupsi;
Diterapkan secara terbatas pada tindak pidana tertentu, seperti gratifikasi (Pasal 12B) dan ketidakseimbangan antara kekayaan dan penghasilan (Pasal 37A ayat (1).
Menurut Pujiyono (2021): Pembalikan beban pembuktian dalam Tipikor tidak menghapus kewajiban jaksa, melainkan memperluas peran terdakwa untuk menjelaskan asal-usul kekayaannya secara rasional dan transparan. Dengan demikian, sistem ini merupakan bentuk pembuktian timbal balik (balanced proof), bukan pembalikan beban pembuktian secara total.
Prinsip ini ditegaskan dalam Pasal 8 ayat (1) UU Kekuasaan Kehakiman dan Pasal 14 ayat (2) ICCPR, yang telah diratifikasi melalui UU No. 12 Tahun 2005:
“Setiap orang yang dituduh melakukan tindak pidana berhak dianggap tidak bersalah sampai kesalahannya dibuktikan menurut hukum.”
Menurut Nandang Alamsah Deliarnoor (2021) dalam Ilmu Hukum, asas ini merupakan jaminan atas perlindungan hak dasar terhadap kesewenang-wenangan negara (due process of law). Oleh karena itu, setiap pengecualian terhadap asas ini harus dilakukan secara proporsional dan akuntabel.
Dari perspektif HAM, pembuktian terbalik dalam UU Tipikor tidak bertentangan secara mutlak dengan asas praduga tak bersalah apabila:
1. Diterapkan hanya pada aspek non-deliktual, yaitu asal-usul kekayaan;
2. Tidak membebaskan jaksa dari kewajiban membuktikan unsur tindak pidana;
3. Memberikan kesempatan penuh kepada terdakwa untuk membela diri secara adil (right to defense).
Dengan demikian, sistem ini berfungsi secara korektif, bukan represif—mendorong transparansi pejabat publik tanpa menghilangkan hak konstitusional terdakwa.
Namun, Eddy (2021) serta ahli hukum lain seperti Muladi dan Andi Hamzah mengingatkan bahwa sistem ini berpotensi bergeser dari asas:
“Tidak bersalah sampai terbukti bersalah” menjadi “bersalah sampai membuktikan dirinya tidak bersalah.”
Kondisi demikian dapat melanggar prinsip non-self incrimination, yaitu larangan memaksa terdakwa untuk menjerat dirinya sendiri, sebagaimana dijamin dalam Pasal 66 KUHAP.
Berdasarkan kajian normatif dan perspektif HAM, penerapan sistem pembuktian terbalik dalam UU Tipikor dapat dibenarkan secara yuridis sepanjang memenuhi tiga syarat utama:
1. Bersifat relatif dan terbatas, tidak meniadakan asas praduga tak bersalah;
2. Menjamin hak pembelaan dan pendampingan hukum bagi terdakwa.
3. Diterapkan secara transparan dan akuntabel oleh Pengadilan Tipikor.
Menurut Pujiyono (2025), mekanisme ini merupakan bagian dari kebijakan hukum pidana (criminal policy) yang diperlukan untuk menghadapi kejahatan luar biasa dengan strategi luar biasa, namun tetap dalam koridor perlindungan hak asasi manusia.
Berdasarkan penjelasan diatas, disimpulkan:
– UU Tipikor sebagai lex specialis memperkenalkan pembalikan beban pembuktian secara terbatas untuk efektivitas pemberantasan korupsi.
– Sistem ini tidak bertentangan langsung dengan HAM, selama hak-hak terdakwa tetap dijamin.
– Penerapannya harus proporsional dan akuntabel, agar tidak berubah menjadi instrumen kriminalisasi.
Dengan demikian, pembalikan beban pembuktian dalam UU Tipikor dapat dianggap tepat secara kebijakan hukum, namun tetap perlu diawasi secara yuridis dan etis untuk memastikan kesesuaiannya dengan prinsip negara hukum dan HAM.
Karya: Andi Hendra








Komentar