
BuletinNews.com – Dalam sistem hukum pidana ekonomi, sanksi terhadap korporasi memiliki peran penting tidak hanya untuk menghukum pelaku, tetapi juga untuk mencegah terulangnya pelanggaran, memulihkan kerugian korban, dan menonaktifkan kemampuan pelaku melakukan kejahatan kembali. Namun, efektivitas sanksi denda kerap dipertanyakan, terutama bagi korporasi besar yang mampu mengalihkan beban keuangan kepada pihak ketiga seperti konsumen, karyawan, atau pemegang saham.
Karena itu, muncul kebutuhan akan sanksi non-moneter seperti pencabutan izin usaha dan pembekuan atau perampasan aset. Sanksi ini dianggap lebih efektif karena memberikan tekanan langsung terhadap pengambil keputusan di dalam korporasi, sekaligus menciptakan efek jera (deterrent effect) dan memperkuat budaya kepatuhan.
Kelemahan Denda dan Kekuatan Sanksi Non-Moneter
Sanksi denda sering kali tidak signifikan dibandingkan dengan nilai aset perusahaan besar. Sebaliknya, pencabutan izin usaha secara langsung menghentikan kegiatan yang menjadi sumber pelanggaran, sedangkan pembekuan atau perampasan aset memutus insentif ekonomi dari hasil kejahatan. Selain itu, kedua sanksi ini menimbulkan dampak reputasional yang dapat mendorong perusahaan untuk memperbaiki tata kelola internalnya.
Namun, efektivitas ini perlu diimbangi dengan pertimbangan sosial dan ekonomi. Penerapan sanksi ekstrem seperti pencabutan izin dapat menimbulkan efek domino berupa PHK massal, terganggunya rantai pasok, dan kerugian bagi investor beritikad baik. Karena itu, prinsip proporsionalitas dan keadilan sosial harus menjadi dasar penerapan sanksi non-moneter.
Dasar Hukum Sanksi Non-Moneter di Indonesia
Sanksi non-moneter memiliki landasan hukum kuat di Indonesia.
Beberapa regulasi yang mendukung antara lain:
– UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, yang mengakui pertanggungjawaban pidana korporasi.
– UU No. 8 Tahun 2010 tentang TPPU, yang memungkinkan pembekuan dan perampasan aset.
– Perma No. 13 Tahun 2016, yang mengatur tata cara penanganan perkara pidana korporasi.
– UU Perbankan (UU No. 10 Tahun 1998 jo. UU No. 7 Tahun 1992), yang menegaskan prinsip kehati-hatian dan larangan manipulasi data keuangan.
Ketentuan-ketentuan ini menunjukkan bahwa sistem hukum Indonesia telah menyeimbangkan antara penegakan hukum dan perlindungan sosial-ekonomi, agar penindakan korporasi tidak mengorbankan kepentingan publik yang lebih luas.
Menuju Sistem Hukum Ekonomi yang Adil dan Efektif
Agar penerapan sanksi non-moneter tidak menimbulkan dampak destruktif, mekanisme bertahap perlu diterapkan: pembekuan aset sementara, pengawasan kepatuhan, hingga pencabutan izin permanen bagi pelanggaran berat atau berulang. Selain itu, penerapan mekanisme kompensasi sosial dan pemulihan bagi pihak beritikad baik sangat diperlukan.
Dengan penerapan prinsip proporsionalitas, akuntabilitas, dan transparansi, sanksi non-moneter dapat menjadi instrumen efektif dalam menjaga integritas sistem keuangan nasional serta memperkuat kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan dunia usaha.
Karya: Andi Hendra











Komentar