Dalam profesi hukum, khususnya hakim, tidak cukup hanya memahami aspek teknis dan prosedural hukum, tetapi harus mampu menerapkan hukum secara adil berdasarkan nilai-nilai moral. Dengan demikian, tugas hakim tidak dapat dilepaskan dari tanggung jawab etik yang melekat pada profesinya. Di sinilah pentingnya memahami dan menginternalisasi nilai-nilai utama yang wajib ditaati oleh setiap hakim dalam pelaksanaan tugasnya.
Nilai-Nilai yang Wajib Ditaati oleh Profesi Hakim dalam Pelaksanaan Tugasnya Adalah Sebagai Berikut:
– Integritas
Integritas adalah nilai paling mendasar dalam profesi hakim. Integritas menuntut hakim untuk bersikap jujur, konsisten antara ucapan dan tindakan, serta menolak segala bentuk penyimpangan, suap, atau kompromi terhadap prinsip keadilan. Dalam konteks ini, integritas merupakan bentuk tanggung jawab moral terhadap hukum, masyarakat, dan hati nurani sendiri.
Menurut Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH) yang disahkan Mahkamah Agung, integritas berarti “tidak dapat disuap, tidak memiliki kepentingan pribadi, dan tidak melakukan penyalahgunaan kekuasaan.” Hakim yang kehilangan integritas bukan hanya mencemarkan institusi peradilan, tetapi juga menghancurkan kepercayaan publik terhadap keadilan.
– Independensi (Kemandirian)
Independensi hakim merupakan syarat utama bagi peradilan yang adil (fair trial). Hakim harus bebas dari intervensi kekuasaan eksekutif, legislatif, maupun tekanan publik yang bersifat manipulatif. Pasal 5 ayat (1) UU No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman menyatakan bahwa “Hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat.”
Kebebasan ini bukan bersifat absolut, tetapi dibatasi oleh tanggung jawab etik. Hakim yang tidak independen sangat mungkin memutus berdasarkan tekanan, bukan pada asas kebenaran hukum. Ini akan menyebabkan keadilan menjadi ilusi.
– Imparsialitas (Ketidakberpihakan)
Nilai imparsialitas menuntut hakim untuk memperlakukan semua pihak yang berperkara secara adil dan tidak memihak. Hakim harus menjaga jarak profesional dari pihak-pihak yang berperkara serta menjamin bahwa keputusannya tidak dipengaruhi hubungan pribadi, kedekatan politik, atau motif ekonomi.
Menurut Friedrich Karl von Savigny, dalam tradisi hukum modern, imparsialitas menjadi elemen penting dalam pembentukan putusan hukum yang rasional dan sah. Tanpa sikap ini, hukum kehilangan objektivitasnya dan menjadi alat kekuasaan atau dominasi kelompok tertentu.
– Profesionalisme
Profesionalisme adalah komitmen untuk menjalankan tugas berdasarkan keahlian, kecermatan, dan tanggung jawab. Dalam konteks ini, hakim harus menguasai kaidah hukum, logika hukum, asas-asas perundang-undangan, serta perkembangan hukum kontemporer termasuk hukum progresif dan restorative justice.
Menurut Satjipto Rahardjo dalam Hukum Progresif, hakim yang profesional tidak hanya bertindak berdasarkan bunyi pasal, tetapi juga menggunakan nurani dan akal sehat dalam menerapkan hukum agar menghasilkan putusan yang berkeadilan, bukan sekadar legalistik.
– Tanggung Jawab Moral dan Sosial
Nilai tanggung jawab moral menuntut hakim untuk mempertimbangkan akibat sosial dari setiap keputusan hukum. Putusan hakim tidak boleh semata-mata memenuhi prosedur, tetapi harus memberi dampak positif bagi keadilan dan ketertiban sosial. Hal ini sejalan dengan konsep keadilan substantif dalam filsafat hukum alam.
Hakim adalah pemegang otoritas moral dalam masyarakat hukum. Oleh karena itu, setiap tindakannya harus dapat dipertanggungjawabkan tidak hanya di dunia hukum, tetapi juga di hadapan publik dan nuraninya sendiri.
– Keadilan (Justice-Oriented)
Nilai keadilan adalah roh utama dalam semua profesi hukum. Menurut Aristoteles dalam Nicomachean Ethics, keadilan adalah keutamaan yang mencakup semua keutamaan moral lainnya, karena ia menyangkut relasi antar manusia dalam masyarakat. Seorang hakim wajib menjadikan keadilan sebagai orientasi utama dalam setiap putusan, bukan sekadar melaksanakan aturan formal.
Konsep keadilan dalam konteks ini bukan hanya keadilan distributif, tetapi juga keadilan korektif (corrective justice), di mana hakim harus mampu mengoreksi ketimpangan dan kerugian yang dialami pihak tertentu melalui putusan hukum yang proporsional.
– Kepantasan dan Kesopanan
Nilai kepantasan dan kesopanan (decency and propriety) menuntut hakim untuk menjaga perilaku, baik di dalam maupun di luar persidangan. Hakim harus menjadi teladan dalam masyarakat, tidak terlibat dalam skandal, tidak menciptakan kontroversi, dan menjaga wibawa profesi, penampilan, ucapan, serta gaya hidup hakim harus mencerminkan nilai kesederhanaan, keseriusan, dan dedikasi terhadap keadilan, bukan menunjukkan kesenjangan sosial atau gaya hidup mewah yang menimbulkan kecemburuan sosial.
Menjadi hakim bukan hanya soal kompetensi hukum, tetapi juga menyangkut karakter moral dan kejujuran pribadi. Nilai-nilai seperti integritas, independensi, imparsialitas, profesionalisme, keadilan, dan tanggung jawab sosial adalah fondasi etik yang wajib ditaati dan dijaga oleh setiap hakim. Tanpa nilai-nilai tersebut, hukum menjadi alat yang hampa dan cenderung represif, bukan instrumen keadilan.
Kasus-kasus korupsi yang melibatkan oknum hakim, seperti yang dikemukakan dalam uraian soal, membuktikan bahwa degradasi moral dalam profesi hukum dapat berakibat fatal terhadap kepercayaan publik dan tegaknya supremasi hukum. Oleh karena itu, nilai-nilai tersebut harus terus disosialisasikan, diawasi, dan dijadikan pedoman utama dalam pelatihan serta rekrutmen profesi hakim di Indonesia.
Profesi hakim sebagai officium nobile harus dimaknai bukan sebagai simbol kehormatan semata, tetapi sebagai panggilan moral untuk mewujudkan keadilan sejati. Integritas moral menjadi fondasi utama dalam menjalankan tugas profesi hukum. Tanpa moral, hukum hanya akan menjadi instrumen kekuasaan dan alat pembenaran bagi ketidakadilan. Seperti yang dikemukakan oleh Gustav Radbruch dalam Radbruch Formula, “apabila ketidakadilan suatu hukum telah sedemikian parahnya, maka hukum tersebut tidak lagi memiliki kekuatan mengikat.” Maka, penegakan hukum sejati haruslah berpijak pada nilai-nilai keadilan, moralitas, dan kemanusiaan.
Sumber Referensi
– Khotibul Umam, dkk. (2022). HKUM4103 Filsafat Hukum dan Etika Profesi.
– Tangerang Selatan: Universitas Terbuka.
Mahkamah Agung Republik Indonesia. Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
– Satjipto Rahardjo. (2006). Hukum Progresif: Hukum yang Membebaskan. Jakarta: Kompas.
– Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.
– Journal of Law and Society, Volume 45, Issue 2, 2021 – The Moral Foundations of the Judiciary in Developing Countries
Komentar