
BuletinNews.com – Hubungan hukum keluarga yang melibatkan unsur asing selalu menghadirkan kompleksitas. Dalam Hukum Perdata Internasional (HPI), persoalan seperti perkawinan, perceraian, dan status personal kerap menimbulkan konflik yurisdiksi maupun konflik hukum karena perbedaan sistem hukum antarnegara. Kompleksitas ini tampak jelas dalam kasus perkawinan dan perceraian antarwarga negara Inggris dan Indonesia yang menikah di kapal berbendera Norwegia, berdomisili di Uni Emirat Arab (UEA), dan mengajukan perceraian di Singapura.
Keanekaragaman hubungan hukum ini menuntut analisis HPI yang terstruktur melalui penentuan isu utama, isu turunan, serta teori-teori yang relevan untuk memastikan hukum mana yang harus berlaku dan negara mana yang berwenang mengadili.
1. Isu Utama: Negara Mana yang Berwenang?
Pertanyaan utama dalam perkara ini adalah forum negara mana yang memiliki yurisdiksi dan hukum mana yang harus diterapkan untuk menyelesaikan perkara perceraian. Situasi menjadi lebih rumit karena perkawinan dilangsungkan di kapal Norwegia, para pihak memiliki kewarganegaraan berbeda, berdomisili di UEA selama lima tahun, namun mengajukan perceraian di Singapura.
Isu tersebut merupakan inti dari sengketa HPI yang selalu berkaitan dengan conflict of jurisdiction serta choice of law.
2. Isu Turunan: Keabsahan Perkawinan hingga Akibat Perceraian
Dari isu utama ini muncul sejumlah persoalan pendahuluan yang harus diselesaikan terlebih dahulu:
a. Keabsahan Perkawinan
Perkawinan di kapal Norwegia tunduk pada asas lex loci celebrationis, yaitu hukum negara bendera kapal. Namun syarat materiilnya tetap mengacu pada lex nationalis masing-masing pihak (Inggris dan Indonesia).
b. Status Personal
Kapasitas para pihak untuk menikah umumnya mengikuti asas kewarganegaraan. Karena itu, hukum Inggris dan hukum Indonesia menjadi rujukan dalam menilai kapasitas menikah masing-masing pihak.
c. Yurisdiksi Perceraian
Walaupun perkawinan berlangsung di luar wilayah Singapura, negara tersebut dapat mengklaim yurisdiksi apabila salah satu pihak berdomisili atau memiliki habitual residence di Singapura saat permohonan diajukan.
d. Hukum Akibat Perceraian
Perlu diputuskan apakah akibat perceraian mengikuti hukum nasional para pihak, hukum tempat tinggal terakhir (UEA), atau hukum negara tempat perkawinan (Norwegia).
Permasalahan semacam ini sejalan dengan berbagai kasus HPI, termasuk contoh kasus Gloria E. Mairering, yang menunjukkan betapa kewarganegaraan, tempat tinggal, dan lokasi perkawinan dapat memengaruhi penerapan hukum.
3. Teori HPI yang Relevan
Untuk menyelesaikan perkara ini, sejumlah teori HPI perlu diterapkan secara simultan:
a. Lex Loci Celebrationis
Digunakan untuk menilai keabsahan formal perkawinan karena berlangsung di kapal berbendera Norwegia. Namun teori ini tidak menentukan hukum perceraian.
b. Lex Nationalis
Status personal berdasarkan kewarganegaraan. Meskipun relevan, teori ini kurang memadai karena para pihak telah lama tinggal di negara ketiga.
c. Domisili / Habitual Residence
Teori yang banyak dianut negara modern, termasuk Inggris dan Singapura. Tempat tinggal lima tahun di UEA menunjukkan adanya habitual residence, sehingga domisili menjadi dasar kuat dalam menentukan status personal dan yurisdiksi.
d. Teori Penyesuaian (Adjustment Theory)
Diperlukan untuk mengharmonisasikan perbedaan konsep hukum antarnegara. Teori ini memungkinkan pengadilan menerapkan hukum forum negara tanpa menolak keberlakuan hukum asing, sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum (public order).
Berdasarkan karakter kasus, pendekatan yang paling tepat adalah kombinasi teori domisili dan teori penyesuaian. Hal ini sejalan dengan perkembangan modern HPI yang bergeser dari asas kewarganegaraan menuju asas domisili sebagai dasar yang lebih realistis untuk kasus keluarga internasional.
Kasus ini menunjukkan bahwa sengketa keluarga internasional memerlukan pendekatan HPI yang detail dan berlapis. Isu utama berkaitan dengan yurisdiksi dan pemilihan hukum, sedangkan isu turunan mencakup keabsahan perkawinan, status personal, dan akibat perceraian.
Dengan menggunakan asas domisili sebagai dasar yurisdiksi dan teori penyesuaian sebagai mekanisme harmonisasi hukum, Singapura dapat menyatakan diri berwenang memeriksa permohonan perceraian. Sementara itu, keabsahan perkawinan tetap mengikuti hukum Norwegia sebagai lex loci celebrationis. Pendekatan ini mencerminkan praktik HPI modern yang menekankan kepastian hukum, keadilan, dan adaptasi terhadap realitas global.
Artikel Hukum Karya Andi Hendra






Komentar