Bab 3 – Riak yang Tak Terduga
Hari-hari setelah pameran terasa berbeda bagi Alya. Di kampus, ia beberapa kali tanpa sengaja bertemu Raka. Kadang di taman kampus, kadang di perpustakaan, bahkan sekali waktu di kafe kecil dekat gerbang. Anehnya, pertemuan itu selalu terasa alami, seolah dunia memang sengaja mempertemukan mereka.
Suatu sore, Alya duduk di bangku taman kampus, sibuk menggambar sketsa pohon flamboyan yang sedang mekar. Angin sore membawa aroma tanah basah setelah hujan. Tiba-tiba, sebuah bayangan menutupi kertas gambarnya.
“Lagi-lagi senja?” suara itu terdengar akrab.
Alya mendongak. Raka berdiri dengan senyum tipis, memegang dua gelas kopi. Ia lalu duduk di samping Alya tanpa diminta.
“Kamu selalu muncul di saat yang tidak terduga,” kata Alya sambil tertawa kecil.
“Bukan aku. Mungkin memang semesta yang mengatur,” jawab Raka.
Percakapan mereka ringan, mengalir seperti air. Alya bercerita tentang mimpinya mendapat beasiswa ke luar negeri, tentang keinginannya melukis langit di tempat-tempat baru. Raka mendengarkan dengan seksama, sesekali melempar pertanyaan yang membuat Alya semakin bersemangat.
Namun, saat Alya balik bertanya tentang mimpi Raka, tatapan pria itu berubah redup.
“Aku dulu punya banyak mimpi,” ucap Raka pelan. “Tapi sebagian hilang bersama seseorang yang… memilih pergi.”
Alya terdiam. Ia bisa merasakan ada sesuatu yang berat di balik kalimat itu. Tapi Raka cepat-cepat menegakkan senyum palsunya.
“Maaf, aku jadi merusak suasana. Lebih baik kita bicara tentang hal-hal indah, seperti lukisanmu,” katanya, mencoba mengalihkan.
Alya hanya mengangguk. Namun di hatinya, tumbuh rasa ingin tahu yang semakin besar. Siapa sebenarnya yang meninggalkan jejak luka di hati Raka?
Di balik kehangatan senja, Alya merasa pertemuan mereka bukan sekadar kebetulan. Ada riak yang tak terduga, yang perlahan menariknya semakin dekat ke dalam dunia Raka.
Komentar