
BuletinNews.com – Dalam sistem hukum acara perdata Indonesia, putusan kasasi pada prinsipnya telah berkekuatan hukum tetap (inkracht van gewijsde). Status ini menandai akhir dari seluruh upaya hukum biasa dan menegaskan tercapainya kepastian hukum. Namun, demi menjaga keadilan substantif, hukum tetap menyediakan mekanisme korektif apabila setelah putusan berkekuatan tetap ditemukan keadaan baru (novum) yang sebelumnya tidak mungkin diajukan. Mekanisme koreksi luar biasa ini memastikan bahwa putusan yang telah final tetap dapat diperbaiki ketika bukti baru menunjukkan adanya kekeliruan yang fundamental.
Konteks tersebut relevan dalam kasus Mirna, yang menemukan bukti kepemilikan tanah setelah putusan kasasi dijatuhkan. Berdasarkan sifat bukti baru tersebut, terdapat dua kemungkinan upaya hukum yang dapat ditempuh: Peninjauan Kembali (PK) atau perlawanan pihak ketiga (derden verzet). Pemilihan mekanisme bergantung pada status Mirna dalam perkara semula serta dampak putusan tersebut terhadap hak-haknya.
Upaya hukum pertama yang dapat digunakan adalah Peninjauan Kembali (PK). PK merupakan upaya hukum luar biasa sebagaimana diatur dalam Pasal 67–72 Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2009 tentang Mahkamah Agung serta PERMA Nomor 1 Tahun 1982. Menurut Benny Riyanto (2022), PK merupakan instrumen korektif terhadap putusan yang telah berkekuatan hukum tetap apabila terdapat kekhilafan hakim, kekeliruan nyata, atau bukti baru yang menentukan. Pandangan ini sejalan dengan Rosa Agustina (2021), yang menegaskan bahwa PK berfungsi mengoreksi putusan yang tidak lagi mencerminkan keadilan substantif. Nandang Alamsah Deliarnoor (2021) menambahkan bahwa PK menjadi mekanisme menjaga keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan melalui penilaian ulang terhadap novum.
Dalam kasus Mirna, dasar pengajuan PK bersumber pada Pasal 67 huruf (b) UU MA yang mengatur bahwa PK dapat diajukan jika ditemukan surat bukti baru yang bersifat menentukan dan tidak ditemukan pada saat pemeriksaan sebelumnya. Bukti kepemilikan tanah yang kini ditemukan Mirna memenuhi unsur novum: bersifat menentukan, tidak dapat diajukan dalam persidangan sebelumnya, dan ditemukan setelah putusan memperoleh kekuatan hukum tetap. Sesuai Pasal 69 UU MA, PK harus diajukan dalam jangka waktu 180 hari sejak bukti tersebut ditemukan, disertai pernyataan sumpah bahwa novum tersebut benar-benar baru diketahui. Dengan demikian, jika Mirna merupakan pihak dalam perkara sebelumnya, PK adalah jalur hukum yang tepat.
Sebaliknya, apabila Mirna bukan pihak dalam perkara yang telah diputus, upaya hukum yang berlaku adalah perlawanan pihak ketiga (derden verzet). Mekanisme ini diatur dalam Pasal 1917 KUHPerdata yang menyatakan bahwa putusan hanya mengikat para pihak yang berperkara serta Pasal 378 dan 382 Reglement op de Rechtsvordering (Rv), yang memberikan hak kepada pihak ketiga untuk melawan sebuah putusan apabila hak-haknya dirugikan. Dalam dokumen Universitas Terbuka, derden verzet dipahami sebagai sarana perlindungan terhadap pihak ketiga yang tidak terlibat dalam perkara tetapi terkena dampak langsung dari putusan. Untuk mengajukan derden verzet, Mirna harus membuktikan bahwa ia bukan pihak dalam perkara semula, putusan tersebut merugikan haknya, dan ia memiliki dasar kepemilikan yang sah. Berbeda dari PK, upaya ini tidak mensyaratkan adanya novum; bukti kepemilikan yang ditemukan dapat langsung dijadikan dasar keberatan terhadap putusan tersebut.
Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa terdapat dua mekanisme perlindungan hukum bagi Mirna. Jika ia merupakan pihak dalam perkara sebelumnya, Peninjauan Kembali merupakan upaya hukum yang paling tepat karena adanya novum yang bersifat menentukan. Sebaliknya, apabila ia bukan pihak dalam perkara yang diputus, perlawanan pihak ketiga (derden verzet) menjadi mekanisme yang relevan untuk mengamankan dan mempertahankan hak-haknya dari dampak putusan kasasi. Kedua mekanisme tersebut mencerminkan keseimbangan antara kepastian hukum dan keadilan substantif dalam hukum acara perdata Indonesia.
Artikel Hukum Karya Andi Hendra











Komentar