Kolaka, BulentinNews.com – Tim Hukum Pasangan Calon Bupati Kolaka Amri – Husmaluddin (BERAMAL) yang diwakili oleh Andri Alman Assigaf, S.H, dan Gunawan Wibisono, S.H, melaporkan oknum kepala desa berinisial S di Kabupaten Kolaka yang diduga kuat terlibat politik praktis, kepada Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Kolaka, Jum’at (22/11/2024).
Andri mengatakan, laporan tersebut diajukan setelah muncul dugaan bahwa kepala desa tersebut berfoto sambil mengangkat jari dengan simbol bersama calon bupati kolaka Jayadin dalam suatu acara beberapa waktu lalu. Tindakan tersebut dinilai menguntungkan dan merugikan salah satu Paslon dalam pemilihan kepala daerah yang sedang berlangsung di Kabupaten Kolaka.
Andri Alman Assigaf menjelaskan bahwa, tindakan kepala desa tersebut melanggar prinsip netralitas yang harus dipegang teguh oleh aparatur pemerintah, terutama selama masa kampanye pemilu.
Berfoto sambil mengangkat jari dengan simbol bersama salah satu calon kepala daerah, dapat dianggap sebagai bentuk dukungan terhadap calon tersebut, Dan ini bisa mempengaruhi persepsi masyarakat terhadap calon yang dihadiri oleh kepala desa.
Pemilih yang masih ragu bisa dipengaruhi secara signifikan oleh tindakan kepala desa, dukungannya pada calon tertentu bisa memberikan keuntungan elektoral bagi calon tersebut. Masyarakat yang menghormati kepala desa mungkin merasa didorong untuk mendukung calon yang sama.
“Seorang kepala desa seharusnya tidak terlibat dalam kegiatan politik praktis yang dapat menguntungkan atau merugikan salah satu calon. Tindakan ini jelas melanggar peraturan yang ada dan dapat dikategorikan sebagai tindak pidana pemilukada,” ujar Andri dalam keterangannya kepada media.
Hal tersebut, lanjut Andri menerangkan, jika oknum kepala desa tersebut yang ada di Kecamatan Wundulako, Kabupaten Kolaka, diduga melanggar Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa, Pasal 29 huruf (g), yang menyebutkan bahwa kepala desa dilarang membuat keputusan atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu calon dalam pemilihan kepala daerah.
Selain itu, kata Andri kepala desa tersebut juga diduga melanggar Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota, Pasal 71 ayat (1), yang mengatur bahwa pejabat negara, pejabat daerah, pejabat ASN, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau perangkat desa dilarang membuat keputusan dan/atau tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon selama masa kampanye.
Andri menambahkan, sebelum melaporkan oknum kepala desa tersebut, pihaknya telah melakukan kajian hukum, dan hasilnya merupakan dugaan Tindak Pidana dalam pilkada, dimana tindakan kepala desa berfoto sambil mengangkat jari dengan simbol bersama calon bupati Jayadin, dapat dianggap sebagai dukungan politik yang memperkuat citra calon tersebut di mata pemilih. Dukungan tersebut bisa mempengaruhi keputusan pemilih yang melihat keterlibatan kepala desa sebagai bentuk legitimasi atau pengesahan terhadap calon yang bersangkutan. Dan itu sangat bertentangan dengan peraturan perundang-undangan dalam pemilukada.
“Tindakan kepala desa tersebut dapat mempengaruhi pandangan warganya terhadap calon bupati tertentu. Jika kepala desa berfoto sambil mengangkat jari dengan simbol bersama calon bupati tertentu, besar kemungkinan warganya menganggap bahwa pilihan kepala desanya merupakan rekomendasi atau bahkan bentuk dukungan resmi,” ujarnya.
Sebaliknya, sambung Andri, Paslon Amri-Husmaluddin (BERAMAL) secara tidak langsung akan dirugikan dengan tindakan oknum kepala desa tersebut, dimana warganya yang kemungkinan belum menentukan pilihan, atau bahkan pilihannya akan di berikan pada Paslon BERAMAL, akan tetapi dikarenakan melihat pimpinan pemerintahan desa melakukan tindakan tersebut, itu dapat mempengaruhi keputusan warganya dalam menentukan pilihan terhadap pasangan calon Bupati Kolaka.
Olehnya itu, apa yang dilakukan oleh oknum Kades tersebut diduga kuat melanggar aturan Perundang-undangan yang berlaku serta dapat kenakan sanksi pidana sebagaimana yang diatur dalam Pasal 188 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016, yang menetapkan sanksi pidana bagi pelanggaran pasal 71 ayat (1), yaitu ancaman pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan dan paling lama 6 (enam) bulan serta/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 (enam ratus ribu rupiah) dan paling banyak Rp6.000.000,00 (enam juta rupiah).
“Kami memiliki bukti -bukti yang cukup, dan itu sudah diserahkan ke Bawaslu Kolaka, dan sekiranya dapat diproses secara profesional untuk menciptakan keadilan pemilihan kepala daerah di Kabupaten Kolaka dan kepercayaan masyarakat terhadap kinerja Bawaslu dalam penegakan hukum pemilu,” jelas Andri.