BuletinNews.com – Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik (UU ITE), meskipun menjadi payung hukum utama di Indonesia untuk mengatur aktivitas manusia di ruang siber, hal tersebut masih diperdebatkan kecukupannya dalam menangani berbagai permasalahan hukum yang timbul akibat aktivitas manusia di dunia maya. UU ITE memiliki peran penting dalam menyediakan landasan hukum bagi transaksi elektronik, perlindungan konsumen, dan pemberantasan kejahatan siber. Namun, terdapat sejumlah kelemahan dan tantangan dalam penerapannya, khususnya dalam menghadapi perkembangan teknologi yang pesat dan kompleks ruang siber.
Adanya pendapat bahwa UU ITE belum cukup mengatasi permasalahan hukum. Hal tersebut dikarenakan Multitafsir dalam beberapa pasal-pasal dalam UU ITE, seperti pasal terkait pencemaran nama baik (Pasal 27 ayat 3) dan ujaran kebencian, dianggap terlalu luas dan multitafsir. Ini dapat membuka peluang penyalahgunaan hukum, di mana kritik terhadap tokoh publik atau pemerintah seringkali dipidana menggunakan UU ITE. Akibatnya, undang-undang ini dikritik karena lebih sering digunakan untuk membungkam kebebasan berpendapat dari pada menangani kejahatan siber secara proporsional.
Contoh Kasus
Kasus Baiq Nuril (2019). Seorang guru yang merekam pelecehan verbal oleh atasannya justru dijerat dengan UU ITE dan dihukum karena dianggap menyebarkan konten tidak pantas, meskipun tujuannya adalah untuk mengungkap pelecehan. Kasus ini menunjukkan bagaimana UU ITE dapat digunakan secara keliru untuk melawan korban alih-alih pelaku sebenarnya.
Kasus Prita dipersoalkan mengirim surat elektronik berisi keluhan atas pelayanan rumah sakit tersebut ke sejumlah rekannya. Ketika proses hukum bergulir, ibu rumah tangga itu ditahan di Lapas Wanita Tangerang. Di tingkat pertama, hakim membebaskan Prita dari dakwaan pencemaran nama baik yang diatur pasal 27 ayat (3) UU ITE. Namun kasus tersebut terus berlanjut.
Berbeda dialami Benny Handoko alias Benhan. Atas serangkaian perdebatan dan pernyataan di Twitter, ia divonis penjara enam bulan karena melanggar pasal 27 ayat (3) UU ITE. Pangkal kasus Benhan adalah debat panas (tweet war) antara dirinya dan sejumlah akun Twitter. Benhan menyebut mantan politikus PKS Muhammad Misbakhun merupakan salah satu pihak yang seharusnya dimintai pertanggungjawaban hukum pada kasus Bank Century. (CNN Indonesia)
(bbc.com)
Ketidaksesuaian dengan perkembangan teknologi. Perkembangan teknologi digital sangat cepat, seperti dalam hal keamanan data, kecerdasan buatan, dan aplikasi fintech. Sayangnya, UU ITE tidak sepenuhnya mengantisipasi bentuk-bentuk baru kejahatan siber seperti phishing, ransomware, atau kejahatan melalui platform digital berbasis kecerdasan buatan. Regulasi yang diatur dalam UU ITE juga belum optimal dalam melindungi privasi dan data pribadi masyarakat.
Contoh Kasus
Kebocoran Data Pribadi (2020). Beberapa kasus kebocoran data terjadi di Indonesia, seperti yang menimpa platform online seperti Tokopedia. UU ITE tidak memiliki ketentuan yang cukup tegas terkait sanksi perlindungan data pribadi, sehingga pelaku kejahatan sering kali lolos tanpa hukuman yang memadai(cnn.com).
UU ITE telah memberikan landasan hukum yang penting dalam mengatur aktivitas di ruang siber, namun belum sepenuhnya cukup untuk mengatasi berbagai masalah hukum yang muncul akibat perkembangan teknologi yang pesat hanya dengan peraturan perundang-undangan yang konvensional, namun dibutuhkan pengaturan khusus yang menggambarkan keadaan sebenarnya dari kondisi masyarakat sehingga tidak ada jurang antara substansi peraturan hukum dengan realitas yang berkembang dalam masyarakat.
Misalnya untuk kegiatan-kegiatan siber. Meskipun bersifat virtual, kegiatan siber dapat dikategorikan sebagai tindakan dan perbuatan hukum yang nyata. Secara yuridis untuk ruang siber sudah tidak pada tempatnya lagi untuk mengkategorikan sesuatu dengan ukuran dan kualifikasi hukum konvensional untuk dapat dijadikan objek dan perbuatan, sebab jika cara ini yang ditempuh akan terlalu banyak kesulitan dan hal-hal yang lolos dari jerat hukum. Kegiatan siber adalah kegiatan virtual yang berdampak sangat nyata meskipun alat buktinya bersifat elektronik. Dengan demikian subjek pelakunya harus dikualifikasikan pula sebagai orang yang telah melakukan perbuatan hukum secara nyata. Oleh itu, revisi dan penyesuaian perlu dilakukan agar UU ITE dapat lebih efektif dan adil, khususnya dalam menangani kejahatan siber yang semakin kompleks serta melindungi hak kebebasan berpendapat di ruang digital.