Jakarta, BuletinNews.com – Harga nikel dunia tengah mengalami kenaikan, namun sebagian besar para pelaku usaha di industri pertambangan nikel masih mengalami kendala persetujuan Rencana Kerja dan Anggaran Biaya Tahunan (RKAB) yang merupakan dasar penjualan dan produksi tambang.
Dikutip dari kontan.co,id, Sekjen Asosiasi Penambang Nikel Indonesia (APNI), Meidy Katrin Lengkey mengatakan sekitar 300 perusahaan tambang nikel, baru 5 hingga 6 perusahaan yang mendapatkan persetujuan RKAB. Padahal seharusnya RKAB sudah mulai berjalan sejak Oktober 2021.
“Penjualan dan produksi tambang harus berdasarkan RKAB yang dikeluarkan Kementerian ESDM melalui Dirjen Minerba. Sedangkan saat ini baru sedikit perusahaan yang sudah mendapatkan persetujuan RKAB sehingga bagaimana kami meningkatkan kapasitas produksi di tengah naiknya harga nikel sedangkan RKAB belum ada,” katanya, Jumat (14/1/22).
Ia menjelaskan jika banyak perusahaan tambang nikel yang tidak bisa melanjutkan produksi dan penjualan karena terkendala persetujuan RKAB, dampak yang bisa timbul adalah kurangnya bahan baku di smelter.
“Pihak ESDM sedang mengevaluasi RKAB tersebut karena saat ini sedang banyak kendala karena pelaporan feasibility studies, amdal, dan laporan cadangan, ” jelas Meidy.
Sementara itu Executive Director Indonesian Mining Association (IMA), Djoko Widajanto mengungkapkan terhambatnya persetujuan RKAB ini salah satunya karena banyak antrian RKAB yang seharusnya E-RKAB, namun ada kendala sehingga dilakukan secara manual.
“Namun saat ini belum ada berita baru mengenai berapa jumlah perusahaan yang telah mendapatkan persetujuan RKAB. Tetapi Minerba kabarnya sedang mempercepat,” ungkapnya
Kendati baru ada 5-6 perusahaan tambang yang baru mengantongi RKAB, sejauh ini Djoko menuturkan pasokan nikel untuk smelter nampaknya tidak ada masalah karena umumnya smelter mempunyai tambang sendiri atau ada kontrak jangka panjang. “Karena penambang nikel ini ribuan, sehingga rantai pasokan berjalan baik,” tuturnya.
Red/Andi